Misalnya saya jadi penanggung jawab urusan media di tim Anies Baswedan – Muhaimin Iskandar, saya akan menanya mereka apakah perlu protes ke Kompas.id, setidaknya minta penjelasan. Lho ada soal apa?
Dalam berita “Muhaimin Ingatkan Negara Sedang Tidak Baik-baik Saja” tak ada wajah Cak Imin si cawapres. Foto untuk judul pun tak menampakkan rupa Cak Imin. Dalam tubuh berita ada tiga foto, hanya satu yang menampilkan sosok si tokoh namun tak utuh.
Tentu saya harus menanya Anies maupun Cak Imin terlebih dahulu karena siapa tahu mereka santai saja, tak merasa dirugikan, bahkan salah satu atau keduanya menganggap itu suatu seni dalam foto jurnalistik — dalam istilah wong lawas media: ngavant-garde. Atau bagi mereka bisa saja hal itu memang masalah namun sepele, tak usah ditanggapi karena ada hal lain yang lebih wigati.
Tiadanya wajah Cak Imin dalam berita termaksud berbeda dari foto Kapolri Listyo Sigit hanya tampil pangkatnya, bintang empat sebagai jenderal, yang melekat pada epolet baju dinas. Dalam galeri foto yang sama, wajah dan sosok Listyo muncul dalam bidikan lain. Pembaca tak merasa pemahamannya tentang seorang figur menjadi tercerai.
Untuk foto Cak Imin yang hanya bahu sampai lutut, apakah angka satu pada kemeja langsung menggiring pembaca paham bahwa itu si cawapres? Padahal foto lain tak menampilkan wajahnya, berbeda dari berita sebelumnya, “Muhaimin Janji Atasi Permasalahan Pertanian melalui Keputusan Politik“.
Saya mengandaikan, untuk Ganjar Pranowo relatif mudah mengambil salah satu ciri visual dirinya, yaitu rambut putih. Ibarat kata, cuma jambul dari bidikan jauh saja langsung dikenali, namun harus disertai foto lain.
Kalau untuk Prabowo Subianto? Foto badan tanpa wajah bisa dibatasi gerak tangan khas dia yang antara bersilat dan menari. Postur tubuhnya pun langsung dikenali.
One Comment