Hal yang akhirnya biasa. Maksud saya kita terbiasa melihat tulisan pada undak-undakan, yang mengarahkan lajur naik dan turun pengguna. Misalnya di halte Cikoko, Jalan M.T. Haryono, Jaksel.
Persoalannya, apakah hal itu dipatuhi? Butuh waktu. Jika sekolah mengajarkan sejak dini dan kita memberi contoh, dalam era cucu kita kelak soal beginian sudah beres.
Hal sama terjadi pada eskalator. Tanpa tulisan pun mestinya setiap orang paham bahwa dalam suasana ramai pengguna lajur kiri untuk orang yang diam, yang kanan untuk orang yang naik eskalator sambil melangkah. Misalnya di stasiun.
Soal eskalator ini memang sulit. Orang yang bersama Anda, apalagi pasangan, bisa saja tetap ingin jejer berdua. Padahal posisi macam itu menghalangi orang lain.
Solusi bagi orang lain yang ingin bergegas? Bilang maaf, permisi anu anu anu. Kalau tak diberi ruang bersabarlah. Bukankah sebentar lagi sampai? Ya, tetapi Anda mencontohkan eskalator dari lantai satu langsung ke lantai tiga. Apa boleh bikin.
Kembali ke undak-undakan, saya pernah menjumpai pembagian arus naik turun tak menggunakan prinsip lalu lintas lajur kiri melainkan kebalikannya. Mungkin pengelola gedung punya alasan. Padahal secara naluriah, di tempat tertentu, misalnya JPO, saat berpapasan dengan orang kita menempatkan diri di kiri, seperti berkendara di jalan.