Layu melayu, tapi semua orang ingin muda selalu

Tak hanya tumbuhan yang daun dan bunganya menua melayu. Sudah jadi aksioma: kita juga. Tapi kenapa kita menolak?

▒ Lama baca < 1 menit

Kembang sepatu hibiscus layu di Taman Bunga Celosia, Bandungan, Ambarawa, Jateng

“Yang segar saja banyak, kenapa motret yang sudah layu?” tanya seorang kawan yang menyempatkan diri berhenti untuk mengamati yang kulakukan dengan kamera ponsel.

Sebelum dia meneruskan perjalanannya di taman bunga itu, aku menjawab, “Ini potret kita semua: tua, layu, tapi merasa masih punya sisa kesegaran.”

Saat akan memotret kembang sepatu layu itu aku belum menemukan alasan. Akhirnya aku beroleh dalih justru setelah ditanya kawan lama semasa kuliah. Jalan-jalan ke taman bunga itu adalah bagian dari agenda reuni kami, medio Desember lalu.

Seorang ibu, bukan teman serombongan denganku, juga menanyakan hal yang sama: kenapa memotret bunga layu. Jawabanku dengan tersenyum di balik masker, “Iseng aja, Bu.”

Memang iseng. Memang layu. Lalu aku mendapatkan pembenar: dalam kelayuan yang baru beranjak masih ada jejak kesegaran. Hal itu alami belaka. Raga kita juga demikian.

Aku dulu pernah berpikir sambil duduk dalam bus kota: jika ada cara membuat wajah dan kulit raga kembali muda, jauh lebih muda, sehingga seorang pria selewat setengah abad tampak sebagai pemuda menjelang dua puluh lima, lalu apa faedahnya?

Aku membayangkan seorang bersosok belia namun berjalan tak lagi gesit, ketika bertemu orang muda beneran yang tampak sebaya tak ada topik obrolan yang bersesuai, lalu memesan makanan dan minuman dengan banyak berpikir karena kendala bernama pantangan demi kesehatan.

Melayu, menua, momprot, krépo, itu alami. Namun tak semua orang siap, setidaknya dari sisi kemasan luar. Untunglah fotografi ponsel memberikan aneka jenis filter untuk mengerem penuaan. Artifisial. Tetapi itu menambah kepercayaan diri mereka.

Kembang sepatu hibiscus layu di Taman Bunga Celosia, Bandungan, Ambarawa, Jateng

Tinggalkan Balasan