Pertanyaan dalam judul itu bodoh, mengundang cemooh. Apa boleh buat, saya bertanya dengan berpijak pada diri saya. Intinya saya mengenal warung kopi, sebagai istilah, dalam iklan Radio Prambors Jakarta di majalah Aktuil terbitan Bandung. Saat itu Kasino, Dono, Nanu, dan Indro belum diangkat TVRI.
Tetapi warung kopi (warkop) sebagai praktik sudah saya kenal sejak kecil, di Salatiga, Jateng. Kenal dalam arti lewat dan melihat saja. Misal warung nasi merangkap warung rokok tempat koplakan dokar, atau dokar mangkal di pertigaan Margosari, depan klinik mata.
Aneh juga siang hari ada kusir dokar ngopi. Saat itu setahu saya orang ngopi pagi hari, sore hari, dan malam hari. Orang ngopi juga saya lihat di warung nasi dekat pasar, termasuk pasar sapi. Selain itu kopi panas juga dijual di warung angkringan Mak Pari, di pertigaan Jalan Merbabu dan Jalan Merapi. Barusan saya sebut kopi panas karena dulu es kopi tidak lazim.
Kemudian saya kembali ke Yogyakarta, kuliah di sana, istilah warung kopi juga tidak ada. Yang ada itu warung nasi kaki lima, angkringan, warung roti bakar, dan warung bubur kacang hijau (burjo). Mereka menjual kopi panas, bukan dari saset karena kopi sasetan belum ada.
Salah satunya adalah warung Pak Dul, nonpermanen, di Jalan Gejayan. Itu bukan warung angkringan, menjual nasi dan lauk, tapi tak ada nasi kucing. Pada awal sampai medio 1980-an seingat saya belum ada warung Indomie di Yogyakarta.
Kini warung kopi adalah hal biasa. Ketika saya masuk Jakarta awal 1990-an, istilah warung kopi itu kadang terdengar, namun berupa warung sederhana, dekat pasar dan pangkalan ojek. Kadang warung itu menyatu dengan warung roti bakar, burjo, dan mi instan rebus.
Warung kopi sebagai kedai mentereng, dengan nama coffee shop, saya kenal di hotel-hotel dan bandara. Minumannya bermacam-macam. Adapun kedai kopi di mal yang saya kenal pertama adalah Oh Lala di Plaza Indonesia. Kemudian Excelso di Blok M Plaza, lalu Mal Ciputra (Citraland).
Kenapa saya membuat pos ini? Tadi di warung kopi pinggir jalan saya duduk dan melamun, sambil minum secangkir kopi susu sasetan seharga Rp4.000 dengan rasa biasa, bersama dua tukang ojek.
Warkop dengan cangkir enamel cap jago itu juga menjual mi instan rebus. Padahal mi instan dirancang supaya orang tak perlu mengudap. Begitu pun kopi sasetan — tetapi tidak untuk teh celup.