Dinda Kemangi mengajukan pertanyaan susulan setelah Kamso menjawab tidak bisa main catur, “Les privat catur yang bagus di mana ya, Oom? Kalo Papa masih ada sih bisa minta tolong dia. Oom kan tau, Papa jago catur, punya piala.”
Kamso angkat bahu, “Coba tanya ke orang Percasi. Emang kamu mau belajar, Din?”
Dinda berencana menikah tahun depan. Dia ingin anaknya kelak pinter catur, “Supaya bisa mikir jauh secara strategis, punya taktik cantik, kayak presiden yang sip. Kalo ada capres di medsos main catur sama anak cowoknya kan belum tentu mainnya cantik, Oom.”
“Jadi kamu pengin anakmu nanti jadi presiden?”
“Bukan gitu! Itu sih terserah dia setelah dewasa, Oom.”
Kamso manggut-manggut.
“Kok Oom Kam kayak nggak bisa komen?”
“Lha kan udah jelas?”
Dinda menahan tawa, “Tapi aku ngebaca apa yang Oom mau bilang.”
“Halah. Sok paling bisa baca pikiran orang. Hahaha!”
“Hayo ngaku! Oom Kam mau bilang, kalo pinter catur di tangan orang yang baru belakangan diketahui the dark side of the moon dia — ih, jadi inget poster dan vinyl Papa dulu — maka si pinter akan bikin strategi dengan skenario jangka panjang, dengan plot twist yang nggak bisa dikoreksi. Semua keseret skenario dia. Ya, kan?”
“Ngaco! Itu imajinasi kamu aja, Din. Terpengaruh obrolan di medsos ya? Hahahaa!”
¬ Ilustrasi dasar dihasilkan oleh AI