Saya terkesan oleh foto jurnalistik dari Festival Kemiren, di Desa Kemiren, Banyuwangi, Jatim, hasil jepretan Sabtu 18 November lalu. Artinya itu foto baru. Tentang perempuan lansia sedang nyusur.
Bagi saya jepretan Kompas ini berharga karena merupakan dokumentasi antropologis dari Pulau Jawa. Saya lupa kapan terakhir kali melihat ibu-ibu maupun nenek-nenek nginang, nyusur, sehingga bibir dan giginya merah, kalau meludah pun merah sehingga disebut dubang, singkatan idu abang (saliva merah).
Nginang itu mengunyah sirih, diperkaya oleh buah pinang, gambir¹, dan injet, yakni pasta kapur. Injet biasa disebut kapur sirih, dan bahasa Indonesia mengenal ungkapan sekapur sirih, dari bahasa Melayu, yang bermakna kata pengantar. Tradisi nginang atau menginang ada di banyak suku di Nusantara.
Adapun nyusur, dari kata susur yang berarti seselan atau ganjal, adalah tembakau penyeka dubang sekaligus untuk diemut. Dalam foto penggemar kinang pada laman web dan aplikasi², tampak kotak perlengkapan nginang. Apakah Anda pernah melihatnya? Dalam bahasa Indonesia, set boks itu disebut penginangan.
Mungkin tradisi menginang akan lebih dahulu tamat daripada merokok. Istilah seperokokan sebagai durasi yang tak eksak sudah tak terdengar apalagi sepenginangan. Dalam teks lama, apalagi sebelum EYD, kedua istilah itu ada.
¹) Tentang gambir, sila tengok Mongabay
²) Koran Kompas versi cetak dan web serta aplikasi itu berbeda, foto dalam kemasan digital lebih banyak karena ruang muat tak secekak koran kertas
2 Comments
Sama dengan Paman saya lupa kapan terakhir kali melihat orang nginang-nyusur. Tapi pasti sudah puluhan tahun silam.
Dahulu kala sih tiap hari lihat. Tersebab, budhe saya (kakaknya papi saya) tiap hari nginang. Sejak SMA (sejak 1980) saya ikut budhe di rumah beliau karena budhe tidak punya anak. Beliau sedo 1995 (28 tahun silam) kalau saya nggak salah ingat.
Salah satu bude saya, jauh lbh tua dari ibu, juga nginang. Lalu mbahdhé dan mbahlik putri juga. Saya ingat suara crok crok crok menumbuk isi bejana kecil dari tembaga.
Simbah putri saya, ibunya ibu, nggak nginang tapi udud. Pada masa muda nginang, kemudian karena menjadi penjahit nggak nginang, pindah ke tingwé, kaca kamar sampai kecokelatan. Beliau meninggal krn uzur dlm usia hampir atau sekitar 100. Tanpa penyakit ini itu yg jadi urusan internis maupun dokter umum. Orangnya sumeleh, rajin meditasi.