Aku malah balik bertanya — “Ehm… apa ya?” — ketika seseorang menanya, “Apa yang Mas dapat selama belasan tahun ngeblog?”
Maka aku mencoba mengingat dan jujur terhadap diri sendiri. Memang ada. Itu bagian dari masa lalu.
Manfaat itu aku dapatkan setelah aku keluar dari pekerjaanku di media. Selama bekerja di media aku tak pernah membahas duniaku di blog demikian pula sebaliknya.
Bahwa akhirnya orang tahu aku bekerja di media, atau sebaliknya: aku adalah bloger yang juga editor sebuah majalah komputer untuk orang awam, itu soal lain.
Bukan niatku mempermalukan seorang dosen yang juga bloger di Surabaya saat dia menjadi tutor pelatihan ngeblog yang diadakan oleh majalahku. Kami memang sering membuat workshop.
Kali itu tentang blog, dan aku duduk takzim mengamati pelatihan dalam kelas. Setelah acara usai, dan panitia ngobrol, seseorang membocorkan informasi siapa diriku kepadanya. Dia tak enak hati. Aku pun demikian.
Setelah identitasku terbuka — bermula dari alamat IP kantorku yang dilacak bloger lain saat chatting — aku pun bergaul di dunia nyata. Maka datanglah manfaat pertama ngeblog: bertambah teman, antarkota antarprovinsi. Kopdar adalah bagian bloggerhood. Di kota mana pun aku bersua bloger. Beberapa orang yang telah lama mengenalku pun heran, menurut mereka aku berubah, banyak berkawan, tak lagi soliter.
Setelah aku keluar dari penerbit media, menjadi ronin, dan sesekali menjadi tutor pelatihan reporter dan editor, datanglah ajakan dari beberapa orang yang belum aku kenal, untuk membuat sesuatu.
Mereka bukan bloger tetapi terkesan oleh Pesta Blogger yang pertama, tahun 2007. Mereka butuh bloger selain seorang bloger amat tenar, yang sebelumnya sudah aku ketahui namanya namun kami baru berkenalan dalam rapat pertama setelah menyanggupi ajakan. Seorang bloger kondang, yang juga jurnalis, yang aku kenal baik, menawarkan namaku kepada mereka. Nama yang tak mereka kenal apalagi aku tak menghadiri Pesta Blogger pertama.
Jadi manfaat kedua dari ngeblog setelah bertambah kawan adalah mendapatkan pekerjaan. Lalu usaha kami berkembang, sempat menggelembung lalu mengempis, kemudian merangkak, bangkit lagi, berlanjut hingga aku jadi pegawai sebuah media penerus sampai 2019.
Selama 2007 hingga 2013 aku berubah, lebih bergaul, apalagi kantorku seperti sanggar: terbuka terhadap semua orang. Bahkan ada tamu nimbrung saat kami rapat karena dia sangka kami sedang meriung, lagi pula ada sejawat yang duduk di tangga karena kursinya kurang. Memang itu kantor dengan banyak kegiatan, duta besar Amerika dan cawapres pernah bertandang.
Itulah masa sebelum aku menarik diri dari Facebook karena merasa gamang: berstatus sebagai teman padahal tak saling kenal, dan ketika bersua aku diingatkan, “Kita kan friend di FB?” Aku malu. Salah tingkah.
Sebelum aku rehat enam tahun dari blog, sejak 2013, aku juga gamang oleh hal lain. Diundang di mana-mana. Antara lain untuk berbicara, kadang dibayar, ada pula kesempatan menjadi juri lomba blog, atau hadir dalam forum terbatas, begitu pun menulis di laman web maupun media kertas milik pihak lain, tetapi aku merasa isi kepalaku tak bertambah. Aku tak nyaman.
Saat itu merasa sebagai trek MP3 yang dimainkan terus dengan lagu tetap, hanya satu lagu pula. Mirip vinyl berisi single namun yang diputar hanya sisi satu. Replay melulu. Pernah pula aku menjadi dosen tamu semester pendek di jurusan desain komunikasi visual. Sebetulnya itu bukan bidangku, namun seorang dosen, desainer grafis alumnus Amrik, dan ketua jurusan, memintaku dengan berpedoman pada sebuah blogku yang membahas label.
Merasa tak paham apapun. Itu pula alasanku berhenti dari mengajar di diklat penerbit almamater tiga tahun sebelumnya: aku gagap dengan perkembangan jurnalisme digital. Aku harus tahu diri. Dunia media cetak saat itu sudah mengarah ke senjakala.
Singkat cerita aku pernah beroleh manfaat ekonomis dari ngeblog. Termasuk di antaranya pos berbayar yang aku kandangkan dalam rubrik atau kategori Advertorial. Aku memetik pelajaran: ada saja pengiklan yang menarik diri setelah aku katakan pos untuk mereka akan sebut advertorial dan berbayar.
Mereka ingin permintaannya ditulis seperti pos biasa agar tak tampak sebagai iklan. Ada juga yang orang agensi yang aneh: minta aku menulis pos negatif, menjelek-jelekkan produk kompetitor. Aku menolak. Tetapi aku dapatkan manfaat berupa pengetahuan dalam bisnis komunikasi pemasaran.
Manfaat lain yang non-ekonomis? Ada masa aku dikenal orang, melebihi jumlah orang yang aku kenal sebelum ngeblog, sehingga aku beroleh banyak pengetahuan dalam kehidupan, termasuk terkikisnya privasi dan kebebasan.
Seorang CEO perusahaan layanan teknologi informasi hafal jika aku tiba-tiba menyeruak ke ruangnya, tetangga kantor: pasti mengungsi karena tiba-tiba di tempatku banyak orang bertandang. Aku menyukai suasana kerja yang menyendiri, hanya ada musikku, tak kenal waktu menurut jam kerja nan lazim.
Privasi terancam kian terasa ketika ada orang mencuit melihat aku mengudap, atau berdiri di depan rak toko CD, bahkan ketika aku memegang sepatu di toko pun diwartakan, untung tanpa foto, padahal saat itu BlackBerry bisa memotret.
Tetapi sekali lagi, itu pun manfaat, beroleh pengetahuan tentang kehidupan. Lalu aku menghilang dari media sosial. Aku bersyukur ingatan orang terbatas dan proses sirkulasi khalayak media sosial berlangsung cepat. Setahun tak muncul saja segera dilupakan apalagi lebih.
Setelah kembali ngeblog, dengan lanskap baru blogosfer yang tak riuh, aku menduga banyak pembaca blogku bukan bloger lawas maupun bekas bloger, dan aku pun menikmatinya penuh syukur. Orang membaca blogku tanpa mau tahu siapa aku. Aku juga bersyukur karena hal lain.
Soal apa? Aku punya kesempatan untuk berupaya memperlambat amnesia. Seberapa berhasil aku tak tahu namun aku menempatkan proses itu sebagai manfaat. Tanpa harus menjejalkan teks di grup WhatsApp.
8 Comments
Wah orang terkenal ya mas? Tapi dari cara menulis mas, memang khas seperti jurnalis. Saya lebih sering tidak terlalu peduli yang di hadapan saya orang terkenal atau tidak, karena sudah terlalu sering bertemu orang terkenal (entah karena nasib atau pekerjaan). Tapi ada beberapa yang kalau merasa tidak dikenal atau diperlakukan seperti orang terkenal malah seperti tersinggung. Hahaha. Jadi kadang lihat-lihat orangnya juga. Yang sudah terkenal banget, memang biasanya lebih menghargai privacy.
Oh, saya bukan orang terkenal. Orang segedung di kantor lama yang tahu nama saya cuma dikit. Ketemu di kantin pun mereka hanya tahu wajah. Yang tahu nama saya itu satpam karena saya sering ambil dan balikin kunci, harus ngisi buku log.
🙏
Tetep wangun <3
Lha? 🤫
Jauhari ini pemain lama, masih iseng ke blog ini 🙏🙏🙏
Suka sekali dengan ungkapan ngeblog untuk memperlambat amnesia. Saking cepatnya beragam tren, kejadian, dan informasi belalu-lalang, ngeblog memang bisa jadi sarana mengendapkan pengalaman.
Halo Tongki! Apa kabar?
Ah jadi ingat bloger belia, masih kelas dua SMA, yang kadang main ke Langsat, kadang sambil garap PR. Namanya Tongki Aribowo. Sekarang di Tumblr ya? 🙏👍👏
Komplet, ya, manfaat yang diperoleh Paman. Beda jauh dari saya, yang dapat manfaat gak jelas😁tapi tetap ngeblog.
Setiap orang punya pengalaman, ada yang sama ada yang beda. 😊
Dulu saya bisa berteman dgn Tongki, bloger remaja, masih kelas dua SMA.
Saat saya SMA saya juga bergaul dgn orang yang lbh tua, ada mahasiswa, ada pegawai.