Dini hari tadi, ketika membaca koran Kompas, pada halaman opini Masdar Hilmy, guru besar dan Direktur Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Jatim, tentang gangguan dalam proses demokratisasi, saya pun teringat desain kaus yang saya bikin 2012. Ihwal kaus itu pernah saya poskan di blog ini (2020).
Desain dengan teks bertutur itu sengaja saya tempatkan pada punggung kaus supaya mempermudah orang membacanya. Intinya, proses demokratisasi memang banyak gangguan, sering mengesalkan, karena demokrasi memang tak sempurna. Namun demokrasi sebagai tatanan bikinan manusia tetaplah pilihan yang pas karena memberi kesempatan publik untuk mengoreksi.
Dalam sistem politik otoriter, bahkan yang mendaku sempurna karena mengatasnamakan kuasa Ilahi (teokrasi), tak ada kebebasan. Anehnya penentang demokrasi ini senang memanfaatkan demokrasi — pun cara yang tidak demokratis — untuk meraih kekuasaan. Setelah berkuasa mau apa? Menghapus demokrasi. Siapa pun yang mengkritik tatanan baru bisa celaka. Sudah sempurna kok mau dikoreksi.
Ketika berlangsung krisis demokrasi, dalam arti terabaikannya aspek-aspek definitif dan fundamental dalam tubuh demokrasi, sehingga tiada pemilu yang kompetitif, hak- hak sipil yang terjamin, dan penegakan hukum yang adil, kata Masdar kita jangan menyerah.
Menurutnya, “[…] pesimisme atas demokrasi bukan alasan bagi bangsa ini untuk berpaling dari demokrasi. Bagaimanapun kita telah berada pada tahap point of no return dalam berdemokrasi.”
Masdar mengingatkan, “Dalam kondisi ekstrem, kegagalan demokrasi dapat menciptakan negara gagal (failed state).”