Kemewahan bernama keluhan mati lampu

Manusia modern kadung tergantung listrik untuk segala urusan. Saat oglangan bisa jadi kesempatan menyepi, tanpa ke luar kota.

▒ Lama baca 3 menit

Listrik padam bagi orang modern yang tergantung setrum adalah masalah besar

Teman saya waktu SD, SMP, bahkan SMA, ada yang tertawa lirih mencemooh saat ada anak di kelas tak mengerjakan PR dengan alasan semalam mati lampu. Mereka yang rumahnya belum berlistrik tak mengenal oglangan atau listrik padam. Teman saya di SMP selalu juara kelas dan bebas SPP padahal rumahnya, di luar kota, belum berlistrik.

Jangankan luar kota, di Kampung Kemiri belakang kampus UKSW Salatiga, Jateng, pun hingga awal 1980-an tak semua pondokan mahasiswa berlistrik. Nyatanya mereka lulus sarjana. Kemudian menjadi doktor dan profesor.

Saya dan banyak tetangga kemarin mengalami oglangan, sejak sebelum magrib hingga kalender berganti tanggal.

Jamak terjadi ketika listrik padam di sebuah lingkungan, pada malam hari, suasana lebih senyap. Alat-alat elektronik mati. Tak hanya televisi tetapi juga kulkas, dispenser, AC, kipas angin, pompa akuarium, dan entah apa lagi.

Listrik padam bagi orang modern yang tergantung setrum adalah masalah besar
BERBAHAYA | Jika mati listrik sangat lama, lilin pun memendek. Tanpa pengawasan, karena ditinggal tidur, lilin dapat membakar rumah.

Mati lampu dan alat lain disertai nyamuk dan gerah sungguh tak nyaman. Di grup WhatsApp ibu-ibu mengeluh anak-anaknya rewel. Tangan ibu dan bapak kecapaian mengipasi anak dan memainkan raket nyamuk. Lalu hujan sebentar, sumuk pun bertambah. Saat yang sama ponsel-ponsel kehabisan baterai. Akan terasa lebay jika keluhan ini saya teruskan.

Belasan tahun lalu saya pernah membaca komentar di blog, pun di Facebook, orang Jabodetabek manja. Listrik padam beberapa jam saja seakan-akan dunia kiamat. Padahal di Balikpapan saat itu listrik bisa tiga hari padam.

Oktober kemarin Kompas melaporkan geliat penerbitan buku di sejumlah daerah, dari lokal untuk sesama, dengan isu setempat, dari sastra hingga kajian sosial budaya, karena mereka pun punya kehidupan sendiri yang tak ada di stasiun TV nasional dan media sosial.

“Isu kemacetan di Jakarta pun kami harus dengar dan tonton,” kata Direktur Penerbit Ininnawa, Anwar Jimpe Rachman (¬ Kompas.id). Inninawa adalah salah satu penerbit di Makassar, Sulsel, yang bermula dari komunitas literasi.

Listrik padam bagi orang modern yang tergantung setrum adalah masalah besar
DAYA | Sepanjang baterainya sehat, power bank dapat membuat ponsel melek. Tetapi tanpa pulsa dan kuota tiada artinya.

Kembali ke listrik. Ini memang masalah orang modern. Kadung tergantung pada setrum. Untuk mundur lagi tak mungkin. Bahkan kini orang berkemah pun berbekal alat berbaterai. Di tempat glamping, api unggun hanyalah pelengkap.

Tadi tengah malam saya ke luar rumah. Jalan yang susuri gelap dan sepi, sementara di ujung lain, pada pertigaan yang tidak oglangan, saya dengar sayup-sayup orang mengobrol dan tertawa. Mereka para bapak muda dan bujangan tak tahan bergelap di rumah berlama-lama.

Saya sengaja berkacamata agar mata lebih awas, headlamp yang saya kalungkan saya biarkan padam. Saya sengaja berjalan dengan merokok, suatu hal yang tak pernah saya lakukan, tetapi malam tadi saya punya niat agar baranya terlihat orang.

Listrik padam bagi orang modern yang tergantung setrum adalah masalah besar
SADAR | Lilin di dekat foto memulihkan kesadaran akan hadirnya gambar sebagai hiasan. Dalam situasi normal dia sudah membuat mata kebal.

Dalam gelap di bawah langit berawan saya lihat bayangan seseorang berdiri di pinggir jalan. Saya menyapa duluan, “Siapa ya?” Lalu bara dia terlihat karena sigaret dia isap. Dia orang RT lain, kami tak dapat saling memastikan sosok tersebab gelap. Hanya sebentar kami mengobrol.

Lalu saya teruskan perjalanan. Peristiwa pun berulang dan berulang. Bersua seseorang dalam kegelapan yang mulanya tak menampak. Siapa pun yang merasa lebih dulu merasakan kehadiran orang lain harus bersuara, menyapa.

Itu soal biasa. Tetapi kapan terakhir saya mengalami? Lupa. Padahal dulu saat di desa tak berlistrik, untuk KKN tiga bulan maupun ikut penelitian, juga saat menginap beberapa hari di rumah teman, ke luar rumah malam hari adalah hal biasa, sentolop tak harus dinyalakan mengiringi langkah.

Listrik padam bagi orang modern yang tergantung setrum adalah masalah besar
SOLAR | Dua rumah dengan lampu sensor putih gerak bertenaga surya. Terasa manfaatnya saat oglangan.

Pagi tadi istri saya bergumam, “Mati lampu. Gimana kalo pas perang ya? Rumah hancur. Rumah sakit juga. Air sulit. Makanan sulit. Kalo hujan gimana?”

Maka saya teringat Gaza. Tak hanya derita tetapi juga membayangkan perangnya: jangankan dalam gelap, saat terang pun serdadu Israel tak berani masuk sana untuk berperang kota. Perang dalam bentuk purba, adu muka, tetap harus dikuasai prajurit modern. Keterampilan berkelahi untuk membunuh, dengan maupun tanpa senjata, adalah syarat mutlak. Gim video paling realistis secara visual bisa dihentikan tanpa pelaku tewas betulan; tetapi tidak untuk perang nyata.

Lamunan dalam gelap malam mengantarkan ingatan pada berita pembantaian kamp PLO di Sabra dan Shatila abad lalu. Salah satu milisi Lebanon yang mulanya didukung Suriah, kemudian Israel, menyerbu kamp pengungsi Palestina, dilawan dengan menyabung nyawa dalam perang kota. Tak hanya dengan bedil dan pistol tetapi juga pisau.

Sampai kini saya ngeri membayangkan pertempuran jarak dekat dengan senjata tajam. Melihat dalam adegan film pun sering tak tahan.

Listrik padam bagi orang modern yang tergantung setrum adalah masalah besar
SOROT | Dini hari listrik menyala secara bertahap, dimulai dari lampu putih penerangan jalan yang terpaan cahayanya kuat dan kontras.

Mati lampu tadi malam telah menerbangkan lamunan ke mana-mana. Oglangan-nya sih bukan hal luar biasa. Benak saya yang berjalan zig-zag karena ponsel mati, setelah saya setrum dengan power bank pun percuma karena kuota habis. Barangkali ini hikmah sekian jam tanpa ponsel: pikiran dapat mengembara jauh.

5 Comments

junianto Rabu 22 November 2023 ~ 18.54 Reply

Saya ada sedia satu “lampu darurat” untuk saat oglangan. Cukup satu lampu sudah memadai karena rumah saya kecil. Ditambah dua senter (untuk lantai atas dan lantai bawah).

Oglangan, terlebih kalau lama, bikin tidak nyaman. Wifi ikut mati. Bahkan internet di ponsel (tanpa wifi) ikut terganggu. Setiap kali oglangan, sinyal Simpati-Telkomsel di ponsel mati-hidup.

Pemilik Blog Rabu 22 November 2023 ~ 22.27 Reply

Lha ya itu. Repotnya setrum cadangan BTS juga tekor.
Kojur kalo oglangan. Pompa sumur dan pompa dorong ikut mati.

Dulu waktu Jabodetabek oglangan lama, kami sekeluarga pas pergi. Sampe rumah bbrp ikan di akuarium sudah mati, ada yang tergeletak di lantai krn lompat dari rumahnya gara-gara cari oksigen. Cuma cupang yang tahan tanpa aerator plus filter.

Ada teman saya yang koi miliknya mati semua.

Pemilik Blog Kamis 23 November 2023 ~ 19.00

Masing-masing punya nasib mesakaké. Cupang yang daya tahannya tinggi, bisa sakit dua bulan lebih sebelum tamat. Sementara ikan hias Njenengan, kena hujan mati karena keasaman berubah 🙏

Tinggalkan Balasan