“Agar kontestasi pilpres pada 14 Februari 2024 berlangsung setara dan untuk menjamin pemilu yang berintegritas, bebas dari ‘fraud’ , sebaiknya Presiden Jokowi mengambil cuti di luar tanggungan negara selama masa kampanye pilpres (75 hari). Selama presiden cuti, pemerintahan akan dijalankan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, dengan status Pelaksana Tugas Presiden RI (caretaker). Ketika kampanye selesai, Presiden boleh kembali menduduki kursinya.”
Ide Prof. Djohermansyah Djohan bagi saya menarik. Bekas Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri itu menulis opini di Kompas (Jumat, 17/11/2023) dengan jernih.
Saya setuju, daripada Jokowi menjadi sasaran fitnah, karena misalnya dia netral pun tetap dianggap berpihak, tetap dicurigai. Dalam lelucon patah arang bekas pendukung Jokowi, “Dulu Jokowi bohong pun kita percayai, sekarang dia ngomong bener pun kita nggak percaya.”
Pilpres yang diwarnai ketidakpercayaan publik akan berkurang legitimasinya. Memang sih dapat muncul sanggahan, memangnya seberapa banyak yang kecewa, dan dari kubu capres yang mana.
Dua kali pilpres, yakni 2014 dan 2019, diwarnai polarisasi runcing, dan setelah hasilnya keluar pihak yang kalah melawan dengan memobilisasi dukungan. Masalahnya, belum terbuktikan siapa yang menjadi pihak yang kalah dalam Pilpres 2024 dan akankah menjadi masalah.
Menarik, jika menyangkut netralitas, konflik kepentingan, dan politik dinasti kepala daerah, Djohermansyah mengingatkan UU No. 1/2015 dan UU No. 8/2015 yang akhirnya digugat oleh Adnan P. Ichsan (anak Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo) ke Mahkamah Konstitusi dan terkabul. Adnan maju Pilgub Gowa 2015 dan menang.
Kedua UU tersebut mensyaratkan “tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana, yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan”.
Kita tahu, politik dinasti kepala daerah ada di sejumlah tempat, termasuk yang didukung partai penolak dinasti presiden.