Kominfo di tengah banjir hoaks mau ngapain?

Kominfo seperti bagian humas pemda pada awal internet: menunggu media berita melaporkan.

▒ Lama baca < 1 menit

Kominfo mengklarifikasi hoaks di media sosial

Cuma merangkum lalu menyiarkan. Itu kesan saya setiap kali Kementerian Kominfo mengklarifikasi disinformasi, misinformasi, fitnah, kabar bohong, dan sebagainya, pokoknya sebut saja hoaks: cuma merujuk berita. Artinya hal itu klarifikasi oleh sipil, dari layanan Turn Back Hoax milik Mafindo maupun media berita.

Sipil memberdayakan diri itu mulia dan harus. Namun tak berarti negara bisa santai. Saya sih bersangka baik, Kominfo bukan cuma menunggu laporan dari masyarakat. Teknologi digital memberikan banyak kemudahan, dan Kominfo sebagai salah satu pemilik otoritas dari negara punya kelebihan secara legal.

Maksud saya, jika menyangkut hoaks yang merugikan badan pemerintah, dan juga BUMN, mestinya Kominfo menempatkan diri sebagai clearing house — eh, apa ya bahasa Indonesianya? Kominfo punya akses lebih ke pejabat komunikasi di lembaga-lembaga tersebut.

Terhadap hoaks yang menyangkut ranah lain, dan dapat merugikan masyarakat, Kominfo mestinya tangkas bertindak. Tidak menunggu sipil membuat klarifikasi, Kominfo meminta penjelasan pihak yang punya otoritas. Misalnya dalam isu kesehatan, dari informasi menyesatkan tentang khasiat daun ajaib sampai layanan medis.

Berarti harus ada semacam unit redaksi? Mungkin. Ada clearing house versi negara dan sipil? Biar. Nah, misalnya fantasi saya berlebihan, setidaknya Kominfo menjadi semacam penjaring klarifikasi dari sesama badan pemerintah. Misalnya tentang kabar palsu lowongan kerja di lingkungan pemerintah.

Di luar sesama badan pemerintah, saat ini yang mendesak adalah hoaks seputar Pilpres 2024. Mestinya Kominfo punya akses ke pemangku fungsi komunikasi publik di setiap TPN capres. Tentu Kominfo harus memilah mana klarifikasi yang layak dipegang dan mana yang sekadar bantahan pengelak yang dalam bingkai propaganda disebut delay the truth, menunda pernyataan kebenaran. Bahan tertulis semacam siaran pers menjadi pegangan.

Dalam kasus bantahan MUI, terhadap kabar bahwa pihaknya membuat daftar boikot produk yang berlatar pro-Israel, hingga tulisan ini saya buat belum muncul di Kominfo. Memang, MUI bukan badan pemerintah, tetapi sebagai lembaga yang dirujuk umat klarifikasinya wigati.

Hoaks MUI bikin daftar produk layak boikot

Pandangan saya mungkin kurang pas karena saya belum mempelajari nomenklatur Kominfo. Misalnya benar demikian, harapan saya tetap: Kominfo tak seperti humas pemkot pemkab, dan pemprov zaman awal instansi pemerintah punya situs web. Isi berita situs pemerintah adalah salinan dari media daring.

Dulu PPID hanya menjadi kelanjutan bagian humas era analog yang rajin melakukan media monitoring dengan membuat kliping koran lalu tak membuat brief. Untunglah kini ringkasan dan analisis, termasuk terhadap sentimen berita, dapat dilakukan oleh robot. Hemat biaya, hemat SDM.

Hoaks korban balap liar

Tinggalkan Balasan