“Uh, susah dia disuruh minum obat. Padahal dasarnya Diajeng itu disiplin, tapi big no buat obat. Ada aja alasannya. Gimana bisa sehat? Padahal aku udah ikutin saran Njenengan, obat yang bungkusnya sulit dirobek itu aku keluarin, aku masukin ke wadah pil buat seminggu,” keluh seorang suami tentang istrinya.
Saya tak mencari tahu sebabnya. Biarlah sang istri, atau sekalian suaminya, berkonsultasi dengan tenaga medis. Kalau saya sih bisa menelan obat di depan, lalu mencari minum, atau kalau tidak pahit kejam ya langsung masuk ke tenggorokan. Minumnya nanti. Paling mudah tentu antasida sebangsa Mylanta, tinggal dikunyah.
Jika alasan enggan minum obat karena rasa yang pahit, tentu bisa diatasi dengan minuman manis. Kalau sulit menelan, ya dibarengi dengan pisang. Tetapi kalau seseorang yang dewasa sebelum memasukkan obat sudah terkunci mulutnya, bahkan misalnya dipaksakan akan muntah, padahal hanya obat flu, itu urusan orang yang paham psikologi.
Obat bisa sangat pahit karena kandungan bahan kimianya. Jamu juga bisa begitu, misalnya brotowali. Adapun lapisan pengurang rasa pahit mungkin tidak dapat diterapkan pada semua pil. Solusi lain barangkali obat diwadahi kapsul, bukan kaplet. Serbuk dalam kapsul itu rasa dan baunya ada yang keras.
Keengganan bahkan ketakutan terhadap obat adalah jamak jika untuk anak kecil. Kita semua mengalami. Jangankan obat oral, obat tetes mata saja ada yang meninggalkan rasa pahit jahat di tenggorokan. Soal farmakofobia (takut obat), disfagia psikogenik (sulit menelan bukan karena penyakit), dan lainnya ini memang rumit bagi yang mengalaminya. Bagi orang lain mungkin cuma dianggap soal sepele, rewel, manja, dan seterusnya.