“Hidupmu tuh monokrom, ya,” kata saya kepada seseorang. Dia mengerutkan kening. Lalu saya jelaskan, “Liat aja pakaianmu. Kalo bukan serba-denim atas bawah, paling tidak bajumu chambray, ya pake setelan warna khaki.”
Kami tertawa bersama. Dia membela diri, “Tapi hidupku nggak monoton kayak sampean.” Lalu kami pun terbahak.
Kesan tentang warna monokrom menyengat benak saya ketika memotret daun kering pekan lalu. Warna daun dan warna ubin senada. Oh, apakah warna punya nada? Dengan setelan otomatis seperti biasanya, saya menempatkan daun pada bidang bidik. Klak-klik. Dengan cahaya seadanya. Sore ini saya temukan jepretan itu saat menghapusi foto dalam ponsel.
Memotret dengan cahaya alami, padahal matahari terus bergeser, dan awan sesekali memayungi dunia luar rumah, akan menghasilkan warna berbeda. Apalagi kalau posisi bidik pemotret berpindah. Cahaya dari depan dan samping benda menghasilkan efek berbeda.
Maka warna foto saya tidak konsisten. Saya malas mengolahnya. Ralat: bukan malas tetapi tidak bisa. Saya tak tahu apakah sudah ada aplikasi pengolah foto di ponsel yang dapat menetapkan color grading foto pertama sebagai patokan, lalu tinggal klik maka foto-foto berikutnya langsung bertingkat rentang sama dalam warna. Eh, mestinya sudah ada ya, karena AI berlari cepat.
Lalu monokrom itu apa? Penampakan warna yang sejenis, misalnya serbacokelat. Kalau monoton? Serangkaian bunyi dengan nada tetap, berulang-ulang. Saya tak tahu apa padanan Indonesia untuk menyerap monotonous, monotony, monotonal, monotonic, dan monotonize. Bahasa Inggris saya burook.
2 Comments
Dan keduanya penganut monogami, to?
Lha yes, nooo