Dipecut itu sakit. Emang.

Cambuk, pecut, atau cemeti itu menyakitkan namun bisa menjadi merek teh, nama galeri, dan nama pena.

▒ Lama baca < 1 menit

Teka-teki Teh cap Pecut dari Pekalongan, Jateng

Sepisan manèh, mudhun ora, Lé?!” kusir dokar itu menghardik saya, yang berdiri pada pijakan naik turun penumpang di bagian belakang. Saya bergeming. Peringatan itu adalah yang kedua, artinya, “Sekali lagi, turun nggak, Nak?!”

Dokar tanpa penumpang terus melaju. Lalu terdengarlah peringatan ketiga, sekira seratus meter dari titik saya naik. Berbarengan dengan itu, cambuk kusir disabetkan dari depan ke belakang, ujungnya mengenai paha saya, meninggalkan jejak melintang kebiruan. Berdarah. Perih tiada tepermanai.

Saat itu saya masih TK atau kelas satu SD di Salatiga, Jateng. Ada dorongan iseng sekaligus ingin mengurangi penat langkah. Di rumah saya berusaha menyembunyikan luka itu. Namun ada moral cerita lain: alangkah malang kuda penghela dokar yang selalu dipecut.

Teka-teki Teh cap Pecut dari Pekalongan, Jateng

Cambuk. Pecut. Cemeti. Sabetan. Rasa sakit. Ingatan dipecut kusir itu menyembul saat tadi saya temukan teh cap Pecut di lemari dapur. Tiada teraan tanggal kedaluwarsa. Namun menguar penasaran dalam benak saya: mengapa sang juragan memilih jenama Pecut? Jangan-jangan dia pernah menjadi korban. Mencoba menerka alam pikir para juragan produk masa lalu dalam membaptiskan jenama hanya bersua teka-teki tiada berkesudahan.

Saya juga tak habis pikir mengapa dulu pasangan perupa Jogja, Nindityo Adipurnomo dan Mella Jaarsma, mendirikan Rumah Seni Cemeti, bermula dari sebuah rumah untuk galeri kecil di Ngadisuryan.

Pada zaman kolonial, Kwee Thiam Tjing Sia (1900—1974), wartawan dan aktivis, salah satu pendiri Partai Tionghoa Indonesia, memiliki nama pena Tjamboek Berdoeri. Nama yang menyeramkan.

Cambuk, senjata Kiai Gringsing dalam Api di Bukit Menoreh

Saya membayangkan, manusia mengenal cambuk sebagai alat untuk menyakiti bermula dari akar sebelum menjadi tali. Adapun cambuk sebagai senjata, saya terkesan akan serial cerita silat Api di Bukit Menoreh (S.H. Mintardja).

Cambuk bisa berupa tali menjuntai yang dapat digulung, dan juga bisa berupa stik luntur dari rotan atau bambu. Hukuman di Aceh, berasaskan Qanun Jinayat, mengenal cambuk rotan (¬ Majalah Hukum Nasional, BPHN, 2018). Dalam Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer), seorang priyagung di Pantura Jateng memiliki cambuk dari ekor ikan pari.

Di lokapasar, cambuk dijual bebas. Ada yang untuk hiasan dan ada pula untuk urusan lain, dengan desain khusus, yakni erotika BDSM.

Cambuk sebagai hiasan dan alat Bercinta

¬ Sampul AdBM: Dictio

4 Comments

junianto Selasa 31 Oktober 2023 ~ 16.15 Reply

Saya ingat puluhan tahun silam, saat masih bocah, saya dan kawan-kawan sering meledek (atau tepatnya menghina) kusir dokar yang galak.Tapi saya lupa persis bunyi terakan ledekan itu, dan kira-kira seperti ini : nggandhul dokar disambuk (maksudnya dicambuk), nggandul dokar kusire ndladhuk!

Pemilik Blog Selasa 31 Oktober 2023 ~ 16.22 Reply

Rupanya kusir dokar yang menyabet saya itu dendam sama anak-anak bangor yang suka nggandul lalu ngécé, ngiwi-ngiwi. Anak-anak kampung belakang.

Saya dikira bagian dari mereka. Nasib.
Salah saya sih gak minta izin.
Lagian kalo saya jatuh, dia ketempuhan.

Tinggalkan Balasan