Empat kuntum bunga mawar, putih dan jambon lembut dalam buket berpita warna persik keemasan, yang diterima istri saya kemarin siang, pagi ini sudah melayu, daunnya juga, dan mulai merosot dalam balutan kertas bermotif koran. Tepatnya kertas roti, dengan cetakan satu warna, yakni hitam, yang tata letaknya mengesankan koran.
Ya, saya sedang membahas desain grafis ala koran. Intinya ada dua tilikan. Pertama: koran memang sudah menjadi barang masa lampau, namun sebagai artefak yang hidup sebagian darinya masih hadir dalam kehidupan kita. Misalnya Kompas.
Kedua: sebagai barang vintage maka tiruannya berupa kertas baru dijual sebagai kertas roti dan kertas kado. Lihat saja di lokapasar.
Lalu menyusullah dua pertanyaan. Pertama: apakah semua desain koran, atau majalah, cocok untuk dekorasi kertas? Jawaban saya adalah ya dan tidak. Tergantung keperluan. Namun saya cenderung menyukai motif desain media cetak hitam putih, dengan ilustrasi hasil gambar tangan, bukan foto, untuk memberi kesan jadul pada kertas roti.
Kedua: apakah semua desain tata letak media cetak cocok untuk kertas roti? Tidak. Tema roti dan kue paling sesuai untuk kertas roti. Bisa untuk membungkus apa saja. Adapun tema berita, meskipun dalam hitam putih, belum tentu cocok untuk roti, buket, dan kado.
Kenapa? Jenis media berita dan sasaran pembaca menentukan gaya visual. Untuk contoh ekstrem, sila lihat gaya grafis Poskota dan Financial Times (FT) serta The Wall Street Journal. Ketika masing-masing tampil hitam putih pun tetap berbeda citra.
Tetapi misalnya hanya bertinta hitam, FT tetap khas: sejak dahulu warna kertasnya adalah salmon orange. Media Barat menjulukinya warna pink FT dan salmon pink.
Alasan FT menggunakan kertas yang tidak putih adalah untuk pembeda di kios koran, dan pilihannya jatuh kepada kertas yang unbleached, tanpa pemutih (¬ lihat “130 Years of Pink“) — padahal dulu isu lingkungan belum mengemuka. Pilihan itu berlaku sejak 1893, lima tahun setelah FT terbit di London, Inggris.
Kini jika kita membeli kertas dan kardus bungkus, juga kertas sigaret tingwé premium, ada opsi kertas putih atau tanpa diputihkan.
Dari semua hal tadi menyembul pertanyaan membuhul: apakah desain koran jadi-jadian dalam bahasa Indonesia bakal menarik mata dan ada yang membeli? Urusan mendesainnya sih mudah. Lebih penting ini: apakah teksnya menariknya untuk dibaca, misalnya karena lucu atau berupa puisi. Di luar urusan hak cipta, kalau isinya cuplikan cerpen Seno Gumira Ajidarma mungkin juga menarik.