Enam hari lalu di sebuah grup WhatsApp seorang kawan menyebut kata “harus diumpak2”. Lama saya tak mendengar kata “umpak”.
Selama ini saya mengira kata itu hanya ada dalam bahasa Jawa. Teman saya yang menyebutkan kata itu keturunan Jawa, tetapi sejak lahir hingga punya anak dia menjadi orang Jakarta yang sangat memahami bahasa dan budaya Betawi. Jarang dia berbahasa Jawa dengan orang Jawa padahal paham. Maka saya pun heran ketika dia menggunakan kata “umpak”. Ternyata dalam KBBI kata itu ada.
Umpak berarti dorongan, bisa juga rangsangan untuk menjadi (lebih) berani kepada seseorang untuk melakukan sesuatu. Semacam encouragement.
Padanan umpak dalam bahasa Jawa adalah bombong. Namun dalam bahasa Jawa, “bocah bombongan” berkonotasi negatif. Misalnya berani melakukan sesuatu bukan karena kemampuan dan nyali tetapi akibat digosok-gosok anak lain. Cuma diperalat. Padahal akibatnya bisa celaka. Maka selalu ada nasihat, “Jangan gampang dibombong.”
Waktu kecil saya pernah dibombong anak-anak yang lebih besar untuk menulis sesuatu yang buruk tentang seorang dewasa yang mereka musuhi.
Saat itu saya masih kelas satu SD, mereka yang sudah kelas lima SD sampai kelas satu SMP membombong saya bahwa tulisan saya bagus lalu mendiktekan kata. Saya bangga karena sudah lebih lancar membaca dan menulis dibandingkan teman sebaya. Namun akibat tulisan pada tembok itu, saya lupa dengan pensil ataukah arang, Pak Galak melabrak rumah saya. Saya dihukum bapak saya.
Juga masih kelas satu SD, saya di sekolah dibombong para penakut untuk menghadapi anak kelas dua yang sering merisak adik kelas. Dia besar dan kuat. Di kelas satu tak naik kelas, begitu pun di kelas dua. Umurnya jelas di atas kami.
Sebenarnya saya takut. Tetapi karena badan saya lebih besar dari anak-anak lain, dan mereka bilang kalau tak ada yang berani melawan maka kami semua akan menjadi bala dhupak pidak pedarakan, maka saya pun tergosok, agar tak berpredikat gedhé gombong. Saya hadapi anak itu dengan kepercayaan diri cuma seperempat karena saya bukan petarung. Saya sudah kalah mental duluan.
Untunglah belum sampai duel, yang pasti saya akan kalah, datanglah dua anak kembar, Priyono dan Priyadi, anak kelas dua, rival si perisak. “Iki balaku,” kata salah satu dari si kembar.
Saya selamat. Mendapatkan pesan dari si kembar, kalau saya diancam apalagi dipukuli si perisak, laporkan saja kepada mereka. Saya mendapatkan perlindungan, dan tak pernah menyetor apapun. Si kembar yang tak dapat dibedakan itu juga preman cilik yang suka berkelahi.
Orang membombong, atau mengumpak, sering kali karena ingin menjerumuskan orang lain. Kenapa? Para pembombong tak mau ambil risiko.
Tentu bombongan tidak selalu buruk. Dalam buku rapor saya zaman SD, ada halaman pengantar untuk orangtua agar “senantiasa memberikan bimbingan dan bombongan kepada putra dan putri Bapak dan Ibu”. Kira-kira begitu kalimatnya. Pastilah bombongan tersebut bukan dalam arti jelek.
Selain “bocah bombongan”, dalam bahasa Jawa juga ada “wong umpak-umpakan”. Artinya orang yang berlaku sesukanya karena merasa berhak untuk itu. Ada unsur dumèh atau mentang-mentang.
Lalu apakah Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep itu korban bombongan, atau malah anak bombongan? Sejarah masih terus ditulis. Saya tak kenal kedua orang itu. Bertemu pun belum pernah. Bisa jadi mereka memang punya kwalitet. Atau dalam istilah Malaysia abad lalu: best punya. Bukankah dalam seni, misalnya musik, selalu ada prodigy?
¬ Gambar praolah: Freepik, Kompas.com