Seperti halnya hujan, kemarau panas kering nan memanggang bisa kita jadikan cerita untuk blog. Saya beberapa kali melakukan itu. Kali ini juga. Saya pilih sisi yang menyenangkan, bukan berisi keluhan.
Pagi menuju siang, sebelum pukul sepuluh, cahaya matahari menerobos roster, menapak lantai. Saya melihatnya saat hendak membuka pintu gerbang untuk membuang dua helai daun kering yang barusan saya ambil.
Betul, saya sedang menceritakan seni memotret daun kering sebelum membuangnya ke bak sampah padahal mestinya bisa jadi pupuk. Apa sih moral ceritanya selain perkataan keisengan karena impuls yang tiba-tiba menyeruak?
Sentuhan rasa akan estetika. Setiap orang dilekati hal itu. Ketika menyangkut pilihan karena suka maka orang akan menyebutnya selera, cita rasa, padahal tak berhubungan dengan ujung lidah. Sesederhana itu.
Lalu saya meletakkan daun itu, mulanya sehelai dan akhirnya dua helai, di atas ubin keramik bermotif terakota. Sungguh sebuah percobaan bersahaja.
Memanfaatkan pola garis dan bidang macam ini semua orang bisa. Demikian pula kontras gambar karena saya mengandalkan setelan otomatis pengukuran cahaya pada kamera ponsel dengan mengarahkan lensa pada bagian paling terang sebagai pusat pandang.
Dari hal sederhana, dan memanfaatkan kebetulan — sesuai cita-cita saya waktu kecil: menjadi pahlawan kepagian pembela kebetulan — itu, saya mendapatkan gambar yang lumayan bagus menurut ukuran saya.
Seberapa kecil atau besar ukuran daun, silakan cermati foto terakhir. Ada ukuran kaki saya pada sisi gelap di bagian bawah foto.