“Ada telurnya ya, Pak,” kata kurir Astro saat menyerahkan kotak kardus belanjaan anak saya sore tadi. Dia tak perlu mewanti-wanti saya dalam kalimat lain semacam, “Awas! Ada telurnya lho, Pak!”
Mas Kurir menempuh komunikasi tahap kedua: menyebutkan secara lisan, melengkapi stiker peringatan pada kardus. Ini hal biasa, bukan? Si pengirim, yaitu orang toko, pasti juga berpesan tentang hal serupa kepadanya saat menyerahkan paket.
Lalu apa menariknya? Tidak ada. Saya saja yang suka berpikir melenceng sambil membantu anak saya membuka kardus. Komunikasi dua tahap dalam pengiriman barang itu perlu, tertulis dan lisan. Untuk kasus telur lebih spesifik, bukan memakai lakban atau stiker “Fragile! Handle with care!” melainkan “Produk Telur: Hati-hati Mudah Pecah”.
Bisa saja si penerima paket bukanlah si pemesan barang tetapi orang lain yang serumah. Kalau dia tak diingatkan, padahal tak sempat membaca tulisan, ada kemungkinan dia menaruh barang tanpa berhati-hati.
Kemarin pagi kurir Alfagift saat menyerahkan kantong penyerta Aqua galon juga mengingatkan saya, “Ada telurnya ya, Pak.” Padahal saya yang memesan malam sebelumnya. Kemarin saya malah lupa kalau juga sekalian memesan telur mentah ayam, bukan telur asin bebek. Dalam kantong kertas ada peringatan “Awas Telor!”.
Saya yakin bukan hanya saya, ketika dulu waktu kecil disuruh ibu mengantarkan barang terbungkuskepada seseorang, padahal isinya mudah pecah.
Saya ingat seorang anak yang mengantarkan puding ke rumah saya dan berpesan, “Oom, kata Mama ini segera masukin kulkas.”
Kini sebagai orang dewasa apakah selalu menyampaikan pesan dengan jelas kepada seseorang yang kita serahi barang, melalui pengantar maupun secara langsung?
Komunikasi itu gampang-gampang susah. Jelas bagi kita belum tentu sama bagi orang lain.