Pagi ini sebelum setengah tujuh, cahaya kemuning dari timur menerpa sudut temu pagar dan dinding. Bulan-bulan sebelumnya tak ada pemandangan macam ini karena mentari menyorot dari punggung rumah.
Maka seperti bahan tebakan untuk anak-anak, saya ceritakan ini: rumah saya tak menghadap ke barat, sinar matahari pagi selalu menyapa dari arah kiri. Hari ini sinar dari kiri agak depan. Ke mata angin manakah rumah saya mengarah?
Tetapi seperti saya sebutkan di muka, bulan-bulan sebelumnya tak ada pemandangan seperti dalam foto. Oktober ini posisi sang surya sudah di bawah garis khatulistiwa. Saya sebut di bawah, bukan di atas, karena saya membayangkan diagram garis edar semu.
Hari ini, 17 Oktober, mentari sudah menuju selatan Pulau Jawa. Pekan lalu, selama 8—14 Oktober, matahari ada di atas pulau Jawa. Istilah “di atas” menurut diagram — buku Malaysia dahulu menyebutnya “rajah” — maupun dalam kenyataan.
Pada 23 September, dua puluh empat hari sebelum sekarang, posisi Matahari di atas Bumi (dengan “M” dan “B” kapital, sebagai nama planet) tepat di atas ekuator. Di atas Pontianak, Kalbar, kata guru sekolah. Padahal posisi pas garis lintang tengah juga berlaku untuk Pasaman Barat di Sumbar. Pun di Tinombo Selatan, Parigi Moutong, Sulteng. Juga di Kayoa, Halmahera Selatan, Malut.
Kenapa saya seperti guru sekolah, menjelaskan hal yang bagi sebagian orang tak penting? Tersebab saya membekukan pemandangan pagi selewat fajar sebagai komposisi. Lalu pikiran ke mana-mana. Saya sekalian mengasah kemampuan menulis kreatif: dari satu hal kecil menjadi tuturan.
Saya tak tahu apakah anak-anak yang tak mengenal salat, misalnya karena bukan Muslim, sehingga kurang hirau kiblat, tahu ke mana rumahnya menghadap.
Jika Anda Muslim, tanyailah kawan non-Muslim, ke arah manakah kursi kerjanya menghadap. Semoga dia bisa menjawab cepat.