“Halah gampang. Di internet banyak,” kata seorang editor media berita daring tentang foto ilustrasi untuk artikel dan laporan langsung.
Terbukti, semua dan setiap tulisan di medianya selalu ada gambar. Untuk topik apapun. Itulah bedanya media digital dan koran cetak. Ada juga hal lain: tanpa gambar, tulisan di media daring tak dapat diterbitkan. Umumnya content management system (CMS) begitu.
Hari ini saya lihat foto utama ilustrasi menarik tentang orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Kompas.id. Hanya foto jarak dekat dari tangan memegangi kepala, dari belakang. Tanpa membaca kapsi, orang tak dapat segera tahu bahwa itu sosok pasien ODGJ. Dalam artikel tersebut, ada dua gambar lain yaitu foto sejumlah ODGJ dan infografik. Lihat foto di paragraf pertama dari pos ini.
Privasi ODGJ
Ilustrasi sejumlah topik dalam media berita memang tak mudah. Misalnya untuk topik kekerasan seksual terhadap anak dan seputar ODGJ. Paling mudah adalah ilustrasi untuk artikel kuliner, tinggal memanen dari sumber luar. Tak perlu memotret sendiri.
Begitu pula ilustrasi untuk topik seputar seksualitas dan kesehatan, serta gaya hidup. Untuk ilustrasi kesehatan mental, misalnya stres, juga mudah didapatkan. Bahwa foto comotan dari luar sering bersuasana luar negeri, itu soal lain.
Persoalan ilustrasi untuk topik ODGJ adalah perlindungan privasi. Apakah setiap subjek yang terfoto dalam kondisi yang dapat memberikan persetujuan bahwa foto dirinya akan dipublikasikan? Lalu bagaimana dengan keluarganya?
Perlu diskusi panjang soal ini. Apakah izin dari tim medis atau lembaga perawatan sudah cukup, padahal si subjek sebagai orang dewasa berhak memutuskan?
Ragam foto ODGJ
Secara acak saya mencoba mencari foto ilustrasi dan foto berita di media berita untuk topik ODGJ. Silakan lihat tangkapan layar. Anda yang menilai.
Dari Detik saya beroleh serangkaian foto kuat yang berkisah tentang ODGJ. Ini foto laporan jurnalistik dengan pendekatan minat insani (human interest).
Lain waktu ketika salah satu atau beberapa foto dalam paket laporan visual itu dipakai untuk artikel lain — yang tak spesifik membahas penanganan ODGJ di Yayasan Daarul Miftah Mulia, Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jabar — maka gambar tersebut menjadi ilustrasi.
Foto Kompas.id yang saya sebutkan di depan itu juga foto ilustrasi, karena artikel tak membahas Yayasan Jamrud Biru, Mustika Jaya, Bekasi, Jabar, namun gambarnya diambil dari beberapa liputan ihwal yayasan tersebut, pada 2019 dan 2021.
Ilustrasi, arsip, bank foto
Lho, foto ilustrasi itu apa? Foto yang tak mewakili langsung isi tulisan. Misalnya sebuah tulisan membahas rujak beracun, maka foto rujak buah yang terpampang bukanlah si rujak bermasalah. Hanya contoh. Namun jika fotonya adalah sepiring rujak buah sumber masalah, misalnya dari polisi, maka gambar itu bukan ilustrasi. Biasanya kapsi foto juga menjelaskan dalam pakem 5W+1H.
Selain foto ilustrasi ada pula foto arsip. Keduanya mirip. Foto arsip menjadi ilustrasi sebuah tulisan namun dalam kapsi disebutkan kapan, di mana, dan seterusnya. Misalnya isi tulisan tentang keluhan Jokowi terhadap industri kreatif berupa sepeda motor custom, maka fotonya dari stok lama, dia sedang menunggang motor modifikasi.
Lalu apa masalah foto arsip dan ilustrasi? Tak semua media punya manajemen bank foto yang andal. Tak terlalu masalah jika editor yang kerepotan mencari tinggal memuat ulang foto yang pernah dimuat, sebagai hasil jepretan orang dalam maupun luar.
Soal arsip menjadi masalah jika menyangkut dua hal. Pertama: editor bahkan pihak luar membutuhkan foto asli yang beresolusi tinggi karena akan dikrop dan dicetak. Kedua: ada foto yang dulu belum sempat diterbitkan karena keterbatasan kaveling padahal akhirnya layak muat untuk ilustrasi.
Maka ketimbang repot, editor bersikap cincai seperti terucapkan dalam paragraf pertama pos ini. Bagi media yang berniat serius dan genah, urusan foto bukan hal gampang.
Pos ini sengaja mencampurkan dua hal secara agak memaksa, yakni foto ODGJ dan manajemen foto, karena saya mendengar masih ada orang ingin bikin media berita dengan cara gampang dan murah. Tak perlu punya fotografer. Tak perlu menggunakan foto legal. Tak perlu melibatkan AI. Sekompleks apapun topiknya bahasannya. Tak beda dari ngeblog secara konvensional.