Sore panas gerah ini dari tablet saya membaca di teras sambil menyetel radio mendengarlan uyon-uyon mendapatkan informasi menarik. Swedia membiasakan anak-anak untuk menulis tangan dan membaca teks dari kertas. Artinya tidak menggunakannya gawai (¬ Kompas.id).
Saya generasi boomers. Namun saya tidak mengalami menggunakan sabak. Di TK sempat memakai sabak milik kelas untuk menggambar, namun hanya beberapa kali. Begitu masuk kelas satu saya menggunakan buku tulis.
Seperti pernah saya sebut, makin tua tulisan tangan saya makin buruk, apalagi setelah ada ponsel. Dulu saat muda saya bisa menulis agak indah, dengan pena, goresannya tebal tipis, untuk menulisi sertifikat. Menulis nama orang yang menerima sertifikat itu.
Setelah saya memimpin sebuah majalah komputer untuk pengguna awam, saya menorehkan tanda tangan untuk sertifikat kegiatan dengan pencetak laser. Mestinya kini saya harus belajar menulis indah yang disebut kaligrafi.
Dalam usia sekarang tentu persoalannya lebih ke motorik, melemaskan jari, supaya tulisan mudah dibaca dan tanda tangan tidak semakin berkurang detailnya.
Tetapi bagi anak usia dini, persoalannya lebih dari motorik. Saat menulis tangan, otak akan terus bekerja, imajinasi sesekali mengembara, membayangkan huruf “s” sebagai ular, melihat huruf “o” sebagai mulut ternganga, menghubungkan angka “4” dengan kursi terbalik, menghayati huruf demi huruf berikut pelafalan yang membentuk kata…
Hingga remaja, setiap anak akan mengubah gaya tulisan tangannya, antara lain meniru gaya tulisan tangan orang lain. Menulis tangan menemani proses pencarian identitas diri.
Di meja teras saya memanfaatkan bekas wadah kue untuk menaruh alat tulis dan lainnya. Buat apa? Ketika harus mencatat sesuatu, terutama angka, saat berteleponan karena saya sulit mengingat angka. Tadi saya manfaatkan alat tulis itu untuk membuat foto ilustrasi untuk tulisan ini. Saya menulis menggunakan spidol, bolpoin, dan pensil.
Dengan belagu saya mencandai diri: menulis tangan untuk merayakan revolusi kognitif versi Harari puluhan ribu tahun silam.
3 Comments
Saya tiap hari nulis tangan, Paman. Nyatet di buku, sebagian pengeluaran dan pendapatan kedai istri saya.
Tiap tiga hari nulis catetan jumlah, jenis, warna dan merek pakaian kotor istri saya sebelum saya serahkan mas “laundri bijian” , dan memotret catatan itu pakai ponsel kemudian mengirimkannya ke mas laundri. Jaga-jaga jika suatu saat ada pakaian yang ketlisut di tempat mas tersebut (pernah terjadi) untuk ngurus ganti rugi atau semacamnya.
Dan tulisan tangan saya tetap jelek seperti sejak saya anak-anak.😁
Wah bagus itu 👍👍👍
Yang penting kebaca.
Dengan aplikasi ponsel, tulisannya bisa diubah jadi dokumen teks, bahkan sebagai tabel.
👍