Dari sejumlah foto berita tentang dampak El Nino, yang saya lihat sekilas secara acak, foto ini paling kuat: seekor kambing berlatar rumput kering meminum air dari ember yang disodorkan kepadanya. Dalam situasi normal, kambing yang diumbar akan mencari minum sendiri, bahkan kalau tak diawasi akan makan tanaman pagar. Artinya untuk urusan minum tak perlu disodori ember.
Tangkapan layar foto Kompas ini ada di tablet saya dua pekan lalu, dan pekan berikutnya, artinya pekan lalu, dimuat ulang untuk ilustrasi bersama foto lain dalam berita tentang kemarau dan El Nino. Barusan saya temukan gambar ini. Maka meskipun telat tetap saya blogkan.
Sebuah foto di media disebut foto berita karena jelas soal apa yang terjadi, siapa yang terlibat, di mana peristiwanya, kapankah difoto, mengapa dapat terjadi, lalu bagaimana masalahnya. Who, what, where, when, why, and how: 5W+1H. Misalnya si kambing punya nama, dan si jurnalis foto tahu, boleh juga disebut dalam kapsi.
Apakah kapsi tersebut menampung semua unsur 5W+1H, Anda yang menilai. Lebih penting soal ini: apakah semua media menyajikan foto yang kuat tentang kemarau saat ini? Termasuk di dalamnya adalah foto dari kantor berita.
Foto berita kalau bisa kuat secara visual, dan lebih penting lagi kapsinya bukan bergaya foto turistik semacam “seorang perempuan petani sedang memberi minum kambingnya”. Tanpa keterangan nama, si pemotret bisa disangka tak melakukan interaksi dengan subjek yang menjadi narasumber. Tak beda dari wisatawan dan bloger iseng memotret sambil jalan. Apalagi jika memotret dengan lensa jarak jauh.
Ketika konten visual di media sosial terus berbiak, tetapi media berita ogah-ogahan menyajikan foto layak — yang penting ada gambarnya, supaya artikel tak ditolak CMS sehingga bisa terbit — konsumen informasi bisa rugi. Padahal pembaca sudah membayar konten gratis dengan biaya koneksi dan jejalan iklan pengganjal mata. Apalagi jika pembaca harus membayar dengan uang.
Lalu kenapa nama pria dalam foto di bawah ini tak disebut dalam kapsi? Silakan menanya fotografernya. Namun ini tetap sebuah foto berita dengan 5W+1H. Secara visual foto ini pun kuat.
Persoalan berikut bagi media berita setelah menyajikan foto layak adalah mengarsipkannya. Dalam era digital, hal ini secara teoretis lebih mudah ketimbang era film negatif dan positif pada abad lalu. Arsip foto yang belum pernah terbit pun merupakan bahan telaah historis.