“Itu napa keluarga Hary Tanoe jadi caleg semua. Terlalu. Lagi rame di mana-mana…,” Kamsi ngedumel saat ngeteh pagi dengan tahu isi.
“Biarin aja, Jeng. Itu berita minggu lalu kayaknya. Nggak menarik,” Kamso menanggapi.
“Nggak menarik? Penting ini!”
“Lah jadi caleg dari partai yang sama, cuma dapilnya yang beda, apa menariknya? Itu partai kan punya dia? Misalnya semua dapet kursi, juga nggak menarik. Demokrasi memberi jalan. Emang sih demokrasi kadang bikin bingung, Jeng.”
“Lalu supaya kasus keluarga Hary itu jadi menarik, harus gimana, Mas?”
“Kalo sekeluarga jadi caleg dari partai berbeda, itu baru menarik. Apalagi kalo semua dapet kursi.”
“Napa sih orang kaya bikin partai?”
“Buat aktualisasi diri. Bisa juga demi negeri, nggak cuma bikin yayasan amal. Harus buang duit nggak soal. Kemarin borong gerobak buat penjual makanan, hari ini ngeklaim diri jadi partainya anak muda. Segmen gerobak dan anak muda, apalagi pemilih pemula, kayaknya beda deh.”
“Enak ya jadi orang kaya. Bebas milih kegiatan, Mas.”
“Yang bener gitu, sejahtera dulu baru main di partai, bukan masuk partai buat nyari rezeki. Untuk yang sekelas Hary, lha daripada ikut partai lain, yang juga hasil bentukan wong sugih, lalu cuma jadi ATM tapi kekuasaannya dikit, mendingan bikin sendiri. Berlusconi, raja media Italia, bikin partai. Thaksin, pemain telko Thailand, juga gitu, bahkan merintis dinasti politik. Soal perusahaan kan ada profesional yang ngurusin, termasuk soal pajak.”
¬ Gambar praolah: MNC Sekuritas (Hary Tanoesoedibjo), AFP (Silvio Berlusconi), Reuters (Thaksin Shinawatra)
2 Comments
Orang kaya bikin partai, bisa juga karena pengin berkuasa di tempat luas yang jauh lebih luas daripada pabriknya.
Kekuasaan memang menggoda apalagi kalau dana berlimpah