Photo pool? Apa pula itu…

Sebagian foto Jokowi berpidato 16 Agustus lalu adalah pool dari Reuters. Arbain Rambey bikin pool dadakan untuk 30 fotografer.

▒ Lama baca 2 menit

Photo pool dari Reuters tentang pidato Jokowi

Sebagian kredit foto Presiden Jokowi berpidato di parlemen (16/8/2023), yang dimuat media, menyertakan “pool“. Saya ditanya seseorang yang punya kebiasaan membaca kredit foto apakah pool itu mode baru. Maklumlah dia orang lawas, sekian lama tumbuh bersama media cetak. Dia terbiasa membaca kredit foto.

Saya bilang itu bukan hal baru karena merupakan praktik lumrah dalam jurnalisme foto. Secara gampangan, photo pool adalah foto karya seorang atau lebih pewarta foto yang disepakati mewakili pewarta lain untuk memotret suatu peristiwa. Kesepakatan itu antara para pewarta dan si empunya hajat. Hasil foto akan dipakai oleh media lain.

Photo pool dari Reuters tentang pidato Jokowi

Kenapa yang boleh momotret dibatasi jumlahnya, bukankah hal itu menghalangi kebebasan pers? Oh, tidak.

Biasanya ada alasan kuat. Misalnya tempat untuk fotografer terdaftar memang terbatas. Kalau semua boleh bebas memotret bisa mengganggu acara.

Di luar urusan jurnalistik, pembatasan jumlah fotografer juga berlaku, misalnya, di gereja. Kalau semua orang boleh berkerumun memotret pembaptisan, sidi, dan pemberkatan pernikahan dari depan altar, para hadirin sebagai saksi hanya melihat punggung para pemotret, ditambah siapa pun yang maju untuk memotret dengan ponsel.

Pewarta foto Arbain Rambe pada 2019 menulis di Kompas tentang photo pool. Dia mencontohkan kasus dirinya sebagai satu-satunya fotografer yang memotret Xanana Gusmao memberikan suara untuk referendum Timor Timur di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Agustus 1999. Saat itu Xanana masih narapidana seumur hidup.

Kenapa hanya Arbain yang memotret, padahal ada 30 fotografer, hal itu merupakan kesepakatan para pewarta foto dan panitia referendum dari PBB. Saat itu dia adalah ketua umum Pewarta Foto Indonesia. Arbain mengenang, “[…] saya bisa masuk memotret karena ada hak yang dilimpahkan kepada saya.”

Arbain Rambey tentang photo pool dalam berita

Maka hasil jepretannya dipakai semua media. Namun saat itu tanpa keterangan pool. Bahkan Kompas pun lalai.

Mestinya kredit foto Xanana itu “Kompas/Arbain Rambey/Pool”. Arbain mencatat:

“Tetapi saat itu yang terjadi adalah, banyak koran yang mencantumkan nama fotografer mereka sendiri dengan tambahan ‘Pool’ saja. Cukup aneh karena semua koran fotonya persis sama namun nama yang menyertainya berbeda-beda.”

Yah, mungkin karena dulu pool di Indonesia belum lumrah. Arbain menyebutkan, ” […] kondisi Pool terjadi dengan mendadak.”

Arbain Rambey tentang photo pool dalam berita

Di luar soal hak atas karya cipta dalam” pengepulan foto” ini, saya teringat ucapan seseorang bahwa pada era digital isu macam itu hanya menarik bagi orang media. Dengan catatan: belum tentu semua orang media peduli HAKI dalam foto bahkan berita.

Ah, masa sih? Si seseorang itu masih menambahkan, “Bahkan banyak pembaca nggak peduli sebuah foto dalam berita itu karya siapa. Kalo foto dia di medsos dipake media, dia baru peduli hak.”

Oh, misalnya prasangka dia benar, bahwa mayoritas pembaca tak peduli kredit foto, saya menduga karena terpaan media di era digital sangat deras, melalui ponsel.

Dulu, apalagi pada abad lalu, kala media cetak terbatas karena harus ada lisensi, dari SIT ke SIUPP, mayoritas pembaca tahu nama pewarta foto Ed Zoelverdi, Kartono Ryadi, dan Zaenal Effendi. Eh ya, lagi pula pada era kamera analog, fotografi adalah kemewahan: tak semua orang sanggup.

Tentang hak cipta, bukankah Dewan Pers sudah memiliki Panduan Media Siber? (¬ Lihat nomor 8 dalam tabel)

Atau, kata saya kepada si seseorang, tinggal menyontek saja pedomanThe New York Times. Dia terbatuk, “Itu snob, mau niru media yang bisa menggaji wartawan dengan layak.”

Tinggalkan Balasan