Senang melihat perekonomian menggeliat. Di pinggir jalan besar maupun gang ada saja warung, dari pracangan kecil, kedai makanan, warung pulsa, hingga penatu. Namun pertumbuhan tempat usaha ini menghadirkan masalah bagi pengguna jalan: kendaraan parkir di jalan. Ya motor, ya sepeda, ya mobil.
Tentu ada tempat selain minimarket yang menyediakan ruang parkir. Malam itu, beberapa hari lalu, saya lihat sebuah toko punya ruang parkir. Bagian depan toko tak langsung menyentuh bahu jalan. Lokasinya di Jatiwarna, Kobek.
Kenapa parkir menjadi masalah?
- Bangunan rumah tinggal dan tempat usaha terus bertambah, lahan terbuka di pinggir jalan makin berkurang
- Sepeda motor dan mobil terus bertambah, di Indonesia selama 2021—2023 motor bertambah 48,9 juta unit (tumbuh 64 persen) dan mobil penumpang bertambah 6,74 juta unit (65 persen)
- Warung lama yang sudah tiga puluh tahun lebih beroperasi bisa tak punya tempat parkir karena dulu kendaraan sedikit
- Adapun warung baru karena berprinsip lebensraum cenderung mengokupasi sisa ruang
- Namun jangan langsung menyalahkan pelaku usaha karena banyak yang menyewa tempat usaha, bukan membuat sendiri
- Jika ada tempat usaha dengan ruang parkir, ongkos sewanya lebih mahal
Jadi pangkal kekusutan itu di mana? Perizinan dan pengawasan. Aturan sih ada, penegakannya yang merana.
Nanti dalam pilkada, kandidat yang berjanji akan menata ruang dan menertibkan beraneka warung dan toko takkan mendulang dukungan.
Bahkan misalnya janji itu dibungkus dalil agama pun saya menduga takkan laku.
Misalnya saya jadi pemilik usaha pasti akan memprotes, “Napa kemarin dibiarin?”
4 Comments
Penatu. Kata yang sudah lama tidak saya baca/dengar.
Maaf komentarnya tak menyinggung soal tempat parkir.
Yang baku itu penatu, bukan binatu.
Yang sering terdengar/terbaca sekarang adalah londri/laundry (kiloan).
Betul. Bahasa itu dinamis. Orang lebih sering bilang tiket (dari bahasa Inggris) ketimbang karcis (dari bahasa Belanda).