Saya termasuk yang tidak disiplin dalam jalan kaki. Ada saja alasan saya, misalnya kesiangan, sudah panas. Atau mau mulai sudah kemalaman.
Kenapa tak menetapkan jadwal rutin dan membuat perencanaan? Saya kurang suka.
Saya lebih suka menuruti hati. Kalau sudah direncanakan berjalan kaki bareng orang lain esok pagi, malam sebelumnya saya gelisah, sulit tidur, akibatnya bangun pagi kurang segar.
Beda kalau jalan sendiri. Waktu masih jadi doktor di Jatibaru, Jakpus, saya jalan kaki ke Monas, lalu berkeliling di sana, pukul setengah lima pagi atau pukul delapan malam. Sesekali jalan kaki sampai Glodok. Saya merasa bebas. Bisa berhenti dan singgah kapan saja dan di mana saja, bahkan balik arah sebelum satu kilometer berjalan. Kecepatan langkah sesuai kemauan saya. Dari Monas, kembali ke kantor saya mandi pancuran. Segar.
Dulu banget, masih terhitung muda, saya bersepeda malam, sekitar pukul sepuluh. Lalu ada suara melarang saya, mengkhawatirkan keselamatan. Baiklah saya ubah pagi, sebelum pukul empat. Ada yang mengingatkan itu terlalu dini, udara masih basah.
Kenapa bukan pukul lima atau enam? Itu jam tidur saya. Ketika masih kuat karena tergolong belia, bisa lari ringan, saya menuruti saran baik: berolahragalah setelah bangun tidur. Maka saya lari ringan di kompleks dan kampung sekitar sekitar pukul dua belas siang.
Sebagai warga baru saya tidak nyaman, ditanya warga, dianggap aneh. Padahal saya lihat bule di Bukit Golf Pondok Indah Jaksel, ada yang jogging tengah hari, di bawah pohon rindang, dan tak ada yang menganggap ganjil. Teman saya menasihati, “Kamu bukan bule dan bukan warga Bukit Golf.”
Kalau soal jalan kaki malam? Belasan tahun silam saya pernah dicegat satpam dan diinterogasi di permukiman (bukan kompleks) sekitar Melawai, Jaksel. Saya harus memberi penjelasan kenapa suka jalan pukul sebelas malam tetapi mereka tidak paham, terus mendesak mengapa bukan pagi atau sore.
Saya jelaskan, pagi adalah saat yang tepat untuk tidur sampai siang, kalau bisa sampai sore. Setelah jalan malam saya mandi lalu bekerja dengan bahagia sampai pagi. “Tapi ini perumahan, Bapak bukan warga sini. Lagian di sini sudah diportal,” kata Pak Satpam galak.
Akhirnya seiring perjalanan usia saya mengalah. Kalau bukan jalan pagi ya jalan sore atau senja. Penjual kelapa muda langganan saya bilang, “Maaf ya Pak, langganan saya yang jalan sendiri cuma Bapak. Semuanya berombongan, paling ndak ya dua orang, suami istri. Apa ndak bosen, ndak ada yang diajak omong selama jalan?”
Saya jawab, “Lha di jalan saya kan ketemu orang yang bisa diajak omong, misalnya sampean.”
Waktu sepeda belum rusak ya nggowes. Itu pun masih mengundang tanya, “Kok sendirian terus? Saya suka lihat Bapak gowes sendiri pake lampu.”
Malah beberapa orang di bengkel sepeda mengajak saya gowes bareng, pagi akhir pekan berikutnya, padahal kami tak saling kenal. Dengan sopan saya tolak.
Tentang jalan kaki seperti dalam infografik Kompas, ada satu hal yang saya tak ingin melakukan: sambil mendengarkan musik.
Suara dari sekitar selama saya berjalan adalah musik kehidupan, dan saya leluasa menengok kiri kanan, jika perlu berhenti kadang berbicara dengan orang yang tak saya kenal. Kalau bersama orang lain saya harus berkompromi untuk ini dan itu.
Hidup ini sudah penuh kompromi. Masa sih tiada sisa kesempatan kebebasan bagi diri sendiri?
3 Comments
Lari ringan di kompleks dan kampung sekitar pukul dua belas siang (karena tiap hari tidur pagi bangun siang). Baiklah….
Lha ya bagus to?
Bagusssss!