Tentang perdagangan karbon, atau pasar karbon, ada dua hal dalam benak saya. Pertama: misalnya saya jadi guru SMP dan SMA, bagaimana cara menjelaskan masalah ini? Saya pun belum sepenuhnya paham.
Kedua: apakah anak sekolah saat ini masih mengenal kertas karbon? Dari Google saya baru tahu bahwa pencarian kertas karbon juga berbuah hasil “kertas jiplak”.
Tentang kertas karbon, saya hanya mengalami saat SD, atas inisiatif sendiri, untunglah urusan tak sampai ke guru, karena bisa dianggap menggambar cabul.
Nah, saya lebih tertarik membahas kertas karbon, bukan pasar karbon. Waktu saya bocah, di rumah ada kertas karbon. Seingat saya bukan untuk bapak saya mengetik melainkan untuk ibu saya membuat pola potong menjahit, pakai karbon biasa yang hitam itu.
—
Penggunaan kertas karbon yang mengesankan bagi saya adalah untuk kupon judi buntut Nalo. Beberapa anak kampung belakang rumah punya uang jajan dari menjual kupon dalam buklet seukuran seperdelapan folio. Pembeli kupon adalah orang dewasa.
Penjual mencatat angka tebakan pada tabel, di bawah kertas buklet ada karbonnya, bukan hitam melainkan biru dan kadang merah, bisa dilepas. Di bawah kertas yang ditembus karbon ada ganjal karton supaya tulisan lebih tajam. Karbon penjual kupon juga meninggalkan jejak pada kertas di atasnya.
Setelah kupon habis, penjual bisa menggunakan karbon untuk membuat gambar tindasan atau tembusan. Menarik. Saya pun dapat ide.
—
Karena saya ingin cepat menggambar bentuk dan anatomi, karbon saya manfaatkan. Foto kambing, kerbau, sampai gambar naga dan mobil saya pakai untuk percobaan, saya terapkan pada buku gambar cap Banteng seukuran buku tulis vertikal, berbahan kertas HVS, bukan kertas Padalarang.
Suatu hari Ibu dan mbakyu saya menanyai saya sambil tertawa-tawa. Mereka tunjukkan buku gambar saya pada halaman akhir buku, “Kowé iki nggambar apa? Yèn bukumu dipriksa Bu Guru banjur piyé?”
Ada beberapa halaman bergambar perempuan telanjang. Saya mengarbonkannya dari buku fotografi hitam putih yang saya temukan di rak. Setelah saya besar baru paham itu untuk contoh pose.
Saat mengarbon foto itu saya masih kelas tiga SD. Foto telanjang dan dada terbuka biasa saya lihat karena di rumah ada majalah piktorial Belanda Panorama. Kalau cuman foto bikini ada di Libelle dan Margriet edisi musim panas. Tetangga sebelah saya, Nyonya Jerman, saban hari berjemur mengenakan bikini¹, kadang topless, padahal tidak punya kolam renang.
Maka baiklah kita belok ke topik lain. Saya pernah mendengar, sebelum ada fotokopi sudah lumrah jika pengarang — bisa penulis fiksi dan puisi maupun eseis dan kolumnis — menggunakan karbon untuk arsip.
Tetapi seingat saya Bapak tidak menggunakan karbon. Saya hanya ingat untuk mengirim ke ke media, Bapak mengetik di atas kertas dorslah (Belanda: doorslag) yang tipis dan ringan.
Lalu kembali ke paragraf awal, apakah anak sekolah sekarang masih mengenakan karbon? Kios ATK di area saya menjual karbon tetapi saya tak tahu siapa pembelinya.
—
Jejak sejarah karbon masih melekat pada email: CC. CC itu carbon copy. Sedangkan BCC dalam dokumen elektronik adalah blind carbon copy. Dalam korespondensi resmi di Indonesia masih ada “tembusan”, dulu berarti kertas tindasan hasil karbon. Makin banyak tembusan, tulisan pada kertas terakhir makin kabur.
Pasar karbon sukarela diperkirakan akan terus berkembang, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Pemerintah menyadari kenyataan bahwa potensi perdagangan karbon hutan Indonesia sangatlah besar. #Opini #AdadiKompas https://t.co/MvJ7r2ZG4K
— Harian Kompas (@hariankompas) July 5, 2023
¹) Akan saya ceritakan lain kali
¬ Infografik: Antara News