Ada dua berita lingkungan, bagus dan menyedihkan. Yang bagus, dari timbunan sampah sedalam sepuluh meter akhirnya bisa menjadi hutan mangrove.
Kabar bagus itu terjadi di Muara Angke, Jakut. Menarik, penghutanan digagas oleh masyarakat. Siapa pun gubernurnya, soal sampah di DKI ini memang berat.
Warga dan industri tak mungkin diminta menyetop produksi sampah. Bungkus makanan akan dibuang ke mana, kecuali bungkusnya bisa dimakan (edible)? Begitu juga busi dan karet injakan kaki sepeda motor, sejauh ini belum bisa dimakan.
Soal limbah pabrik, itu tak terhindarkan. Masa sih produksi tak menghasilkan sampah? Dalam perhelatan, pengusaha jasa boga menghasilkan sampah. Tukang dekorasi juga.
Celakanya seperti halnya banjir, perjalanan sampah tak hirau batas administratif wilayah. Walkot Tangerang tidak mungkin hanya menyalahkan orang Jakbar sebagaimana asal sampah. Walkot Jaksel dan Jaktim tidak bisa mengutuk sumber sampah dari Kobek, Jabar.
Nun di Kali Cilemahabang, Desa Karangasih, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, airnya hitam karena pencemaran terutama oleh sampah industrial. Warga menjalani kehidupan bersama air hitam. Ya mencuci, ya mandi.
Pekerjaan besar bagi siapa pun yang ingin jadi wali kota, bupati, gubernur, hingga presiden, apapun partainya, dari partai buni sampai partai anggur: menangani sampah.
Apakah warga di lingkungan tak terurusi oleh pemerintah boleh putus asa lalu jadi golput setiap kali ada pileg, pilkada, hingga pilpres?
¬ Foto-foto: Kompas.id