Daun di jalan basah seberang rumah saya itu tampak memesona. Padahal setiap hari ada daun dan bunga kemboja gugur di depan pagar tetangga. Saya terkesan tadi pagi sekitar pukul tujuh saat membuka gembok pintu pagar. Saya akan memotretnya dengan sadar masalahnya.
Sudah hampir setahun saya menggunakan layar LCD non-orisinal. Di luar rumah, layarnya meredup. Maka kecerlangan saya naikkan, sehingga menghabiskan setrum baterai, sayang sering kali tak menolong.
Namun saya tabah: memotret dengan kebatinan — maksud saya hanya kira-kira. Kadang setelah gambar jadi ternyata terpotong. Atau salah fokus. Tak enak di mata.
Tetapi saya bisa berkilah punya pertimbangan estetis yang berbeda. Lihat saja foto kemboja dua warna di bawah ini. Misalnya berdebat dengan istilah ndakik-ndakik dalam kalimat membingungkan akan memberi kesan terpelajar, kan?
Singkat cerita dengan kendala tadi saya bisa beroleh foto daun kemboja di atas air tanpa berboros jepretan. Langsung jadi. Berarti mujur. Mungkin karena jujur, tak memindahkan daun atas nama komposisi dan puitisasi foto. Halah, alasan apa ini.
Tetapi untuk foto kembang kemboja kuning dan merah saya berboros jepretan karena layar makin redup. Seorang tetangga, yang penasaran terhadap apa yang saya lakukan, ketika saya memperlihatkan layar ponsel saya dia berkomentar, “Nggak keliatan apa-apa, Mas.”
Foto kembang hasil rekayasa letak ada di posting berikut.
3 Comments
Tentang ponsel berkamera yang ndembik (di luar rumah layar meredup, dan kecerlangan harus dinaikkan sehingga boros setrum baterai) punya saya sama dengan punya paman. Tentang hasil pemotretan memakai barang ndembik itu tidak sama : jepretan Paman jauh lebih baik daripada saya.
Tentang daun dan bunga kemboja gugur setiap hari, saya juga menyaksikan seperti dalam konten ini https://juniantosetyadi.wordpress.com/2023/06/14/pagi-yang-normal-dan-sampah-daun-depan-rumah/
Coba mengubah angle, lebih ke bawah misalnya
👍🙏