Saya belum pernah melihat orang dewasa menikmati permen cicak dalam kemasan mainan. Memang permen cicak, atau telur cicak alias endhog cecak, ini menyasar anak. Saya tengok harganya di rak minimarket Rp30.000, berat isi delapan gram. Uang segitu bisa dapat roti dan kue yang lebih murah namun mengenyangkan.
Di minimarket dan supermarket, terutama di kasir, permen dalam kemasan mainan bisa menjadi bahan konflik ibu dan anak. Bahkan sebelum sampai kasir, konflik sudah merekah karena si buyung maupun upik memaksa dibelikan permen macam itu.
Saya waktu itu kecil juga ingin permen macam itu, namun ibu saya tak pernah meluluskan. “Larang, ora maregi,” kata Ibu. Artinya mahal, tak mengenyangkan.
Desain permen cicak dalam mainan sejak dulu sama: selalu ada pipa tiang bening untuk wadah permen. Pipa itu berfungsi sebagai gagang untuk dipegang. Gagang itu pula yang ditancapkan ke tatakan peraga. Dalam hal ragam, tadi saya lihat hal baru: kipas angin bertenaga baterai AAA. Gagangnya sih sama dengan yang lain. Isinya juga.
Kapan itu di kasir sebuah minimarket besar, seorang ibu membatalkan permen dalam mainan yang disusupkan anaknya ke dalam troli. Melihat ragam belanjaan dan busananya saya menyimpulkan bahwa harga bukan isu bagi keluarga itu.
“Nggak. Kapan itu kamu minta, mainan langsung rusak. Rasanya juga nggak enak. Bunda nggak ngelarang kamu ambil yang lain,” kira-kira begitu kata perempuan itu kepada anak lanang. Si anak ngambek, ibundanya terus mengawasi kasir memindai harga.
Setiap keluarga tentu autentik. Demikian pula pola asuhnya terhadap anak. Saya pernah membelikan anak saya permen dalam mainan, bukan karena mereka yang minta, supaya mereka punya pengalaman. Untunglah mereka tak ketagihan.
Sempat ada sih koleksi mainan di rumah, bonus makanan nan mengenyangkan. Bukan bonus, hanya gimmick untuk paket ayam goreng maupun burger menu anak. Bagi saya harga mainan sepadan dengan harga makanan.
Entahlah bagaimana cucu saya kelak dalam menghadapi godaan konsumsi. Pola asuh orangtuanya bisa saja beda dari saya. Bukankah cara saya dan istri mendidik anak juga berbeda dari orangtua kami?
Jebakan bagi umumnya kakek dan nenek adalah tergoda melanggar aturan yang diterapkan orangtua cucu atas nama sayang cucu dan, “Sekali-sekali boleh dong.”
Ada pengulangan kata untuk sekali. Tanpa menekuni linguistik, terutama semantik, setiap orang tahu arti “sekali-sekali” maupun “sesekali”.