Dari jarak sekitar 30 meter saya lihat seorang pria berbaju batik membungkuk di pinggir got berair kehitaman itu. Tangannya memegang serok, dia celupkan ke air. Tebakan saya benar. Dia mencari ikan cere atau céthul atau dhédhuk (Gambusia affinis). Hasil penyerokan dia tampung dalam ember bekas wadah cat.
Waktu bocah, usia delapan sampai sembilan tahun, saya kadang mencari cere di Kali Nongko, Salatiga, Jateng. Tetapi saat itu kalinya bersih. Hamparan kerikil dan pasir di dasar sungai tampak jelas, terutama di bagian dangkal, cuma selutut anak.
Saya tak menangkapnya dengan serok karena tak punya. Cukup memanfaatkan kantong plastik dan kadang dengan wadah bekas. Hasilnya, paling banyak sepuluh ekor, saya bawa pulang, lalu saya pindahkan ember. Siang saat ikan, esok paginya ikan itu mati — mungkin nyawa mereka tercabut malam sebelumnya. Saya tak tahu bahwa mereka butuh oksigen. Tetapi di air kotor kok mereka bertahan ya? Atau mungkin mereka tewas karena tak saya beri makan?
Meskipun sudah tahu, saya masih menanya Pak Batik itu, “Nyari apa, Pak?”
“Gapi,” jawabnya. Maksudnya guppy. Baru tahu saya, cere juga disebut guppy. Selama mengenai guppy sebagai ikan mungil cantik. Ternyata cere, yang doyan nyamuk (atau jentik?), sehingga disebut mosquito fish, itu termasuk guppy.
Daya tahan cere itu tinggi. Sayang juga kalau dia sampai habis di got karena predator nyamuk tiada. Pak Batik mencari cere untuk pakan ikan gabus atau kutuk (Channa striata) yang dia ternakkan.
Cere, atau cecere, sering menjadi kiasan untuk orang-orang yang layak disepelekan, atau rakyat jelata baladhupak pidak pedarakan.
Ikan cere berasal dari Amerika Selatan, masuk ke perairan tawar Indonesia sekitar 1920. Di Sungai Brantas, Surabaya dan sekitarnya, insang dan saluran pencernaan cere tercemar mikroplastik (¬ Unair News).