Saya tak membahas apakah advertorial, apalagi berisi politik Pilpres 2024, di koran cetak masih efektif. Itu urusan orang-orang di dunia periklanan. Saya hanya merasa terganggu oleh iklan di halaman pertama Kompas (Minggu, 11/6/2023) tentang Ganjar Pranowo, si bakal capres dari PDIP itu.
Kalau advertorialnya muncul di halaman lain saya juga tidak suka. Termasuk jika berisi Anies Baswedan dan Prabowo Subianto yang beriklan serupa Ganjar.
Yang saya maksud serupa advertorial Ganjar adalah tak ada penanda bahwa artikel itu adalah iklan. Pada penutup paragraf terakhir hanya ada tanda “[*]”. Bukan katakanlah “ADV” maupun “INFORIAL”.
Bagi pembaca setia Kompas, sajian advertorial itu mudah mereka kenali. Tipografinya saja berbeda dari berita, demikian pula dengan adanya tanda asteris: artinya itu iklan, membeli ruang untuk diisi teks, tak beda dari iklan display.
Meskipun KPU belum mengumumkan capres, dan khalayak belum diingatkan aturan berkampanye, termasuk melalui iklan, media memang berpeluang dapat rezeki dari iklan bacapres. Tetapi masa sih media membiarkan iklan berupa artikel tampil menyerupakan konten dari redaksi?
Kompas mengulangi cara pemuatan advertorial BIN selama pandemi Covid-19 lalu dan unjuk gigi BRI.
4 Comments
Pertanyaannya, apakah kalau pakai “ADV” atau “INFORIAL” pihak Ganjar menolak memasang iklan, ya? Sehingga Kompas pilih melanggar pagar api demi duit iklan.
Gak tahu juga. Tapi Kompas kan punya posisi tawar. Dan pernah menandai advertorial dengan “[Info]”.
Di media, bagian iklan yang putus asa paling senang dgn iklan terselubung. Padahal redaksi rugi.
Seorang pemred majalah komputer pernah menolak rayuan bagian iklan untuk bikin artikel dgn iklan terselubung. Apalagi ternyata niat orang bagian iklan buat pancingan calon pengiklan. Lha cotho kalo dituruti. Iklan terselubung dimuat, redaksi rugi nama, si pengiklan potential batal beriklan. Ide kenthir itu untungnya tertolak krn si pemred bilang, “Selama saya mimpi jgn harap ada gituan.”
(((Pemred majalah komputer)))👍
Hmmm….