Kali ini saya tergelitik menanggapi prompt harian WordPress. Sebelum saya dapat mengakses internet, padahal sudah tahu tetapi barangnya tidak ada, maka saya…
- Untuk pribadi maupun pekerjaan sangat tergantung pada buku, majalah, koran, dan aneka info tercetak
- Saya tergantung pada fotokopi sehingga meja kerja saya penuh kertas, dan semua sejawat saya tahu cara mengoperasikan Xerox
- Saya juga tergantung pada mesin faksimil untuk mengirim maupun menerima informasi
- Karena saat itu belum punya ponsel — kalaupun punya, layanan SMS lintas operator belum ada — saya masih mengirim kartu Lebaran dan Natal, dan tentu menerimanya, sehingga terbiasa melihat prangko, dan tentu familiar dengan kantor pos
- Saat masih mahasiswa, saya relatif sering ke kantor Telkom untuk interlokal dan kirim telegram karena di keluarga saya telegram tak identik dekan kabar duka
- Saya masih memotret dengan film, untuk pribadi maupun pekerjaan, sehingga di rumah punya album foto dan kantong film negatif
- Biaya telepon lebih boros, ya di rumah, ya telepon kartu, ya pemotongan gaji di kantor untuk interlokal pribadi, bahkan setelah punya ponsel pada 1997, karena belum ada VoIP
¬ Gambar praolah: Bukalapak
9 Comments
Saya nitip satu, ya, Paman : kirim foto, hasil liputan di Solo, ke kantor Surabaya pakai kurir anak OB kantor Solo.
Oh naik apa dia?
Saya dan teman dulu kalo liputan di Bandung nitip film via sopir 4848, janjian sama orang ktr Jkt yang ambil ke agen 4848 di Jalan Prapatan.
Kalo luar kota yang ada bandaranya ya nitip film via awak pesawat, orang kantor Jkt janjian di bandara. Dulu media kan dikit
Naik bus jurusan Solo-Surabaya turun terminal, di terminal sudah ditunggu kurir dari Mabes Surabaya. Setelah ngasihkan foto, kurir saya langsung ngebis pulang ke Solo.
Pernah juga saya titip ke awak bus, lalu kurir kantor ngambil ke awak bus tersebut di terminal.
👍Yeah, sesuai sikon saat itu. Teman saya wartawati Nova di Surabaya sudah biasa ngebut naik motor nitip film ke Juanda.
Era wartawan militan, zaman wartawan harus (dan senang) ke lapangan.
Dalam idiom lawas, sol sepatunya yang trèpès karena banyak jalan, bukan pantatnya karena banyak duduk 🤭
👍
Aku masih mengalami semua itu, Paman. Hahaha. Aku sudah tua juga ternyata. Wkwkwk.
Lbh lbh junior dari Insanayu juga lbh tua dari di bawahnya 😁