Ketika akan memotret ini saya diklakson terus oleh sepeda motor dan mobil dari belakang. Akhirnya foto layak bisa saya dapatkan ketika ada jeda, tak sampai setengah menit saat lalu lintas agak lengang. Maklum jam berangkat kerja.
Tadi pagi, saat kami sarapan bubur ayam, istri saya gelisah karena seorang ibu turun dari motornya, yang dia parkir di badan jalan, untuk membeli bubur. Anak lelakinya, sekitar lima tahun, tengkurap di atas jok motor. Ada risiko motor terguling atau tersenggol kendaraan lain.
Pemandangan biasa, kata Anda. Orang maunya parkir tepat di depan penjual kalau perlu tak usah turun. Pengendara mobil pun ada yang begitu. Mereka itu maunya tak usah parkir menjauh lalu jalan kaki. Bahwa jalannya sempit, selalu ada kilah semacam, “Justru sudah tahu sempit ya mesti toleran dong sama orang yang repot markir.”
Dalam kasus tadi pagi, sebenarnya ada tempat parkir di halaman di balik pagar. Dibolehkan karena bubur ayam dan nasi kuning hanya buka pagi. Sila lihat foto.
Karena bertambah tua dan enggan cekcok, kami tak menegur ibu itu. Kami bosan dengan alasan, “Halah cuma bentar aja kok.” Setelah ibu itu pergi, istri saya menegur penjual bubur ayam agar lain kali mengingatkan pembeli yang parkir ngawur apalagi membahayakan anak.
Saya sih tak memarkir apa pun karena kami berjalan kaki. Kami ke sana baru pertama kali, untuk mencoba. Misalnya pun membawa mobil, saya cenderung menghindari tempat yang parkirnya merepotkan pengguna jalan. Opsi lain ya parkir di tempat lain, misalnya halaman minimarket, lalu berjalan kaki.
Bahkan dulu kalau kaveling parkir on-street kedai penuh, dan petugas valet menyilangkan kedua lengan, saya memilih batal masuk. Atau kalau sudah tahu parkiran terbatas, ya saya naik ojek — dari lokasi parkir di tempat lain — karena ada janji atau pertemuan.
Dalam sebuah obrolan santai saya pernah curhat kepada seorang pemuka agama kenapa soal adab dan kesalehan sosial di jalan raya tampaknya kurang dipedulikan umat. Beliau hanya menarik napas lalu tersenyum, menatap saya dengan lembut.
Ketika menuliskan ini saya pun bercermin. Kalau saya tak suka perampasan trotoar maupun bahu jalan untuk berjualan, kenapa saya membeli di sana juga?
Saya adalah bagian dari akhlak dan kesalehan sosial masyarakat. Saya selalu punya pembenar, misalnya karena pemkot tak menegakkan aturan maka saya pun ikut menikmati. Apalagi dalam kampanye pilkada tak pernah ada janji membersihkan jalan dari kesemrawutan tata guna ruang termasuk oleh PKL.
Saya tak beda dari orang lain.
Oh, Indonesia! Entah bagaimana nanti ibu kota baru.
6 Comments
Sy pernah ngobrol sm bapak” muda yg pegang bayinya pakai tangan kiri duduk di depan dia naik motor … eh, dia minta maaf, padahal sy bukan kakek bayi itu, hahaha
😇👍🌹
Belum jadi Aki Deddy kan? Masih Daddy Deddy Dandy.
Aih …. syudaaaaaaaah, sy su aki”, tp ga naek montor cucu na hahaha
Oh sudah aki. Selamat ! 🙏👍
Seorang ibu yang ndembik alias ceroboh.
Yah sejak dulu saya sering menjumpai ginian. Yang paling simpel, seorang ibu atau pengasuh menggandeng anak kecil, si anak di sisi jalan, seolah melindungi yang dewasa.