Mengonggokkan kantong-kantong sampah di pinggir jalan atau lahan nganggur itu sudah lumrah. Tetapi menderetkan banyak kantong sampah di tengah jalan seperti dalam foto, saya baru tahu.
Versi cetak dan e-paper Kompas tak menampilkan banyak foto sampah di jalanan Tangerang Selatan, Banten. Sedangkan di versi web dan aplikasi ada banyak foto. Inilah dokumentasi Indonesia. Detik mendokumentasikan sampah di tengah jalan pada 2021.
Sebagai dokumentasi, apakah foto-foto ini akan memengaruhi para pengambil keputusan? Saya skeptis. Persoalannya bukan kualitas foto melainkan keterlihatan foto. Misalnya fotonya tak sebagus hasil jepretan pewarta foto, berikut konteks dalam kapsi, unggahan warganet di media sosial lebih berpeluang terlihat oleh pejabat. Apalagi jika akun-akun kuat menggemakannya.
Adapun nasib foto media berita dengan segera, seolah alami, akan diperlakukan sebagai domain publik — ini istilah sopan untuk para pengembat foto yang tak peduli hak cipta kecuali terhadap karya sendiri.
Kembali ke sampah di tengah dan pinggir jalan. Persoalannya, di luar pasal petugas sampah prei selama Lebaran, adalah pengelolaan di tingkat permukiman padat. Akses ke gang sempit memang bisa ditempuh oleh gerobak sampah. Masalahnya di mana tempat penampungan sementara sampah sebelum diangkut truk?
Oke, taruh kata ada tempat penampungan sementara yang layak, sampah takkan berceceran. Tetapi misalnya Anda menjadi warga dan pengurus RT 123, apakah Anda bersedia jika orang di luar wilayah RT juga menitipkan sampah di penampungan itu?
Misalnya si penitip sampah adalah warga RT 122 yang rumahnya di perbatasan, lebih dekat ke pemampungan sementara RT 123, dan dia bersedia membayar untuk memanfaatkan. Tetapi kalau di RT 122 tak ada penampungan sementara, tiada jaminan bahwa warga lain kebal godaan untuk memanfaatkan penampungan secara gratis. Orang lain yang bikin penampungan, dia yang bikin aturan boleh memanfaatkan.
Pengelolaan sampah memang lebih banyak aspek sosialnya. Biasanya orang LSM lebih tahu cara mengurus beginian, secara partisipatoris, tetapi butuh waktu lama, bisa melebihi tahun anggaran pemkot bahkan masa jabatan wali kota.
Padahal jalan utama.. dari dulu gapernah kelar sama urusan sampah disini! Jembatan aja ngegantung baru 1 yg kelar @Kabar_Tangsel @Kota_Tangerang @InfoTangsel pic.twitter.com/5iijQwlFTK
— dee (@dlstrr05) February 25, 2020
Moral cerita? Dalam kampanye pilwalkot dan pilbup amatilah calon memprioritaskan sampah ketimbang pembangunan rumah ibadah (tapi bukan untuk semua agama) dan aneka fasilitas fisik mentereng. Bukankah kebersihan adalah bagian daripada yang mana akhlak dan iman?
Ulah warga TangSel yg ga peduli kebersihan , buang sampah sembarangan padahal itu akses jalan ke lingkunngan sekolah pic.twitter.com/R4txyueLLT
— Satria Langit (@AmbanRante) February 20, 2016
2 Comments
Ya ampun. Pemandangan yang tidak indah sama sekali. 👀👀
Setuju 👍. Kriteria penting yang harus ada untuk pemimpin kota ya seyogyanya ini. 👍👍
Dan ternyata ini masalah lama sebelum ada pergantian wali kota 🙈