Pagi tadi istri saya menanya saya, “Siapa tuh yang nempel kertas ke kaca pintu?”
Dari ruang dalam, ya di balik kaca, dia tak dapat membaca tulisan pada Post-it karena teks coretan saya terbalik secara horizontal, mirrored.
Saya menyahut dari dapur, “Oh, itu aku yang masang, kemarin, buat iseng, aku foto.”
Hasil jepretan saya gabung dengan gambar lain. Untuk ilustrasi tulisan. Kadang saya memang melibatkan coretan tangan — misalnya opini tentang calistung.
Untuk ilustrasi Kamso & Kamsi, rubrik yang tak langsung terlihat, dan tampil sebagai slides, saya sering bikin dua versi, untuk featured image dan ilustrasi dalam postingan.
Kenapa melibatkan coretan? Pengin aja. Impulsif. Kertas pun asal ketemu, kadang bungkus atau sisi putih gerenjeng.
Saya menikmati keisengan macam itu, dengan ponsel lebih simpel. Kemarin, karena malas mengambil sebuah buku tebal berat secara fisik maupun isi, yakni Sejarah Estetika (Martin Suryajaya, 2016), saya memanfaatkan foto sampul dari penerbit, Gang Kabel. Lebih praktis. Yang penting ada atribusi. Nah, kalau saya foto sendiri, barusan, hasilnya seperti di bawah ini. Sejujurnya, saya tak khatam baca buku setebal xxviii + 915 halaman ini.
Gaya ilustrasi saya dalam kacamata kekikinian tampak old skool. Kenapa? Saya tidak eh belum memanfaatkan AI. Sudah mencoba namun kerepotan merumuskan prompts agar sesuai imaji dalam benak. Soal lain? Ponsel saya selalu keberatan terhadap aplikasi tambun memori. Selain itu lantaran pasal biaya, aplikasi yang berbayar itu mahal untuk saya.