Mbakyu Ana Pustaka itu sebenarnya pendiam. Lebih banyak menyimak, mengangguk, tersenyum, atau mulut membentuk O tanpa suara, orang bilang hanya bicara saat ditanya. Sore itu, dalam buka bersama di kedai, setelah mendengar ibu dari meja sebelah bolak-balik mengucapkan “estetis”, Mbakyu Ana bergumam, “Apa maksudnya estetis? Kok kayak cucuku, anaknya Masku. Apapun yang menurutnya keren, lucu, mengasyikkan, dibilang estetis.”
Mbakyu Degan Ijo menukas, “Iya tuh. Ibu-ibu senam dan arisan juga suka bilang gitu.”
Diajeng Tari menyahut, “Iya tuh. Ada yang bilang ini istilah baru. Gimana, Kam?”
Kamso menanggapi datar, “Namanya juga bahasa. Selalu bergerak. Apa yang ada dalam pengertian lama bisa berubah makna. Pergaulan sangat berpengaruh. Ditambah media sosial.”
Ketiga ibu itu dan dua ibu lain serentak tertawa kecil. Jeng Ani berkomentar, “Khas Mas Kam. Jawabannya normatif, cari aman. Mungkin para zaman Orba dia itu jupen.”
Perbincangan kian hangat dengan garis Stabilo soal pemahaman bahasa. Mbakyu Ana menambahkan contoh, ketika istilah makan barbar mencuat beberapa tahun lalu, cucunya juga sering bilang begitu.
“Di Google Maps nggak sengaja aku nemu warung makan barbar. Entah apa maksudnya. Bapak-bapak mana nih suaranya?” celetuk Jeng Tina Literasi.
Hadi Brengos, Agus Jeprak, dan Tedi Receiver cuma tersenyum. Sedangkan Godril Manifesto melempar sampur, “Kamso aja yang ngoceh soal nggak penting ini. Ayo, Lé!”
Kamso berpidato, “Aku denger estetika dari guru agama waktu SMP, kuartal pertama kelas satu. Katanya, itulah yang bedain manusia dan satwa. Dengar bangsa barbar juga di SMP dari guru sejarah. Udahlah, nggak usah dibahas lagi. Yang penting orang tahu apa arti yang bener dan arti versi pergaulan. Pendidikan orang kan ningkat, bacaan di hape juga berlimpah. Mosok kemampuan berbahasa jalan di tempat. Nanya ChatGPT juga bisa.”
¬ Gambar praolah: Unsplash, Tortoise General Store, Penerbit Gang Kabel
2 Comments
Baiklah, mari kita tanya sembarang kalir ke CHATGPT….
Lha yes nooo…