Dalam hujan sore, bengkel mobil di jalan kecil itu tampak temaram, lampu neon tak dinyalakan. Namun tampak satu benda yang kentara, yakni bekas jeriken oli yang ditelentangkan. Salah satu sisi dindingnya sudah dijebol. Warna kuning membuatnya menonjol. Mungkin dulu kemasan oli Shell.
Tak istimewa. Sudah lumrah jika bekas jeriken oli di bengkel difungsikan untuk wadah ini dan itu. Tak hanya bengkel mobil dan sepeda motor, bengkel sepeda pun begitu.
Tanpa kampanye menggunakan barang bekas pun kalau orang tahu nilai kagunan suatu barang bekas pasti akan melakukannya. Setidaknya untuk sementara, sekalian menunda sebuah benda plastik menjadi sampah. Tetapi untuk rumah tangga mungkin jarang memanfaatkan jeriken oli. Setelah mengganti oli di bengkel ngapain bawa jeriken kosong?
Sambil menunggui montir mengganti roda mobil kawan, saya melamunkan jeriken. Orang Jawa menyebutnya jrigèn, tapi dalam Bausastra W.J.S. Poerwadarminta tak saya temukan tembung atau lema itu. Maklumlah Bausastra terbit pada 1939, di Batavia. Edisi terbitan J.B. Wolters Uitgravers Maatschappij N.V. itu pula yang dirujuk oleh Bausastra digital.
Apa hubungan tahun dengan jeriken? Bahasa Inggris mengenal jerry can (Oxford: jerrycan) saat Perang Dunia II. Sejumlah sumber menyebut kata itu muncul pada 1943 dari Tentara Inggris dan Sekutu untuk menyebut kanister bensin bekalan bikinan Jerman yang dapat ditempelkan pada sepeda motor dan mobil militer. Kata “Jerry” adalah sebutan informal untuk Jerman.
Wikipedia memberikan penjelasan dengan rujukan. ChatGPT meringkas aneka sumber dengan bernas.