Sulit membahas suatu kasus yang menyangkut sentimen negatif keagamaan dengan tenang dan jernih. Misalnya terhadap kasus pengerudungan terpal terhadap patung Bunda Maria di Lendah, Kulonprogo, DIY.
Saya belum dapat info selengkapnya. Sementara, sampai saya tulis ini, merujuk versi polisi, pihak yang melakukan penutupan patung adalah pengelola rumah doa Katolik, Santo Yakobus.
“Kami hanya menyaksikan. Terpal itu juga dipesan oleh pemilik tempat doa dari Jakarta,” kata Kepala Polsek Lendah, Agus Dwi Sumarsangko (¬ Harian Jogja).
Kata Agus, pengelola rumah doa menutup patung setelah protes warga yang tak nyaman dengan keberadaan patung. Bagaimana warga menilai patung itu, menurut Agus, “Mereka menganggapnya mengganggu umat Islam yang melaksanakan ibadah di Masjid Al-Barokah.” Masjid itu bertetangga dengan rumah doa.
Taruh kata benar demikian, terhadap penutupan oleh pengelola, bukan pihak lain, saya teringat banyak kasus pemecatan di perusahaan dan lembaga. Ada saja yang diawali dengan permintaan pengunduran diri dari pihak manajemen terhadap orang yang dianggap bersalah. Semacam jalan tengah, agar urusan cepat kelar, dengan harapan tak ada pihak yang kehilangan muka maupun dianggap mau menang sendiri karena keputusan berdasarkan kesepakatan.
Apakah kasus patung dapat disamakan dengan pengunduran diri tadi? Saya tidak tahu. Saat menulis hal ini saya belum menemukan berita penjelasan dari pengelola rumah doa.
Ditutup ya gpp, toh pemiliknya sendiri yg setuju untuk menutup agar tidak menggangu pemeluk agama lain. Damai dan mengutamakan kepentingan umum jadi pilihan pemilik nya.
— Hansmade (@jembatanpaku) March 23, 2023
Soal friksi antarkomunitas keagamaan ini rumit justru karena komunikasi terbuka dan berimbang sering kali sulit.
Misalnya, dari kelompok A mengatakan kepada kelompok B, “Tempat ibadah Anda mengganggu kami.” Mungkin bukan bangunan atau tendanya, tetapi, “Kegiatan Anda beribadah itu meresahkan.”
Soal peristilahan, yaitu “mengganggu” dan “meresahkan”, bisa mengundang debat. Biasanya dari pihak penolak muncul tangkisan sakti, soal perizinan. Penjelasan pihak tertolak, bahwa bahwa pengurusan izin selama bertahun-tahun tak pernah diluluskan, bahkan kadang tanpa alasan resmi, biasanya berbalas dalih semacam, “Ya makanya tahu diri.”
Yg punya tempat ziarah mah nyari aman Pak, dari pada nanti ada yg ngamok2.
Kelompok kayak gini tuh harusnya sadar, ngeliat patung aja imannya goyah artinya iman lo cetek banget kayak genangan air hujan. pic.twitter.com/vct6zAmleu
— mumu (@mumu_ce) March 23, 2023
Ada hal sebenarnya yang dapat dikomunikasikan terbuka, tetapi belum tentu bisa dengan hati sejuk dan kepala dingin. Tak semua pihak penolak bisa berterus terang, “Kami menolak karena Anda berbeda dari kami. Titik.”
Hanya jika yakin posisinya kuat, penolak bisa mengatakan hal itu. Misalnya, rumah ibadah agama lain tak sesuai tradisi masyarakat lokal — seperti kasus di Cilegon, Banten. Pembahasan tradisi lama sebelum tradisi sekarang akan menjadi perdebatan panjang.
Mungkin pihak tertolak akan dianggap naif jika bertanya balik, “Apakah kelompok Anda juga mau kalau diprotes, ditolak, oleh pihak lain?”
Boleh jadi akan muncul jawaban ala preman, atau malah macam brengos rumah bui, yang menegaskan bahwa dirinya adalah aturan hukum, “Silakan aja kalo berani.”
Jawabannya bukan, “Oh, tentu. Karena kami suka nolak pihak lain, maka kami juga senang ditolak lalu nurut, siapapun yang nolak kami, di belahan bumi mana pun kami sebagai mayoritas maupun minoritas.”
Itulah yang saya maksudkan komunikasi terbuka dan berimbang. Setara dengan, “Kalo saya suka gitu, situ juga boleh melakukan yang sama.” Sepanjang dijamin konstitusi apa salahnya?
Jadi bukan, “Saya selalu di pihak yang benar, boleh melakukan apapun, sementara situ di pihak yang salah, nggak boleh niru kecuali mau cari masalah.”
![Penurunan patung Buddha di Tanjungbalai, Sumut, 2016 Penurunan patung Buddha di Tanjungbalai, Sumut, 2016](https://blogombal2020.files.wordpress.com/2023/03/wp-1679710060102.webp)
¬ Pemutakhiran (Jumat 24/3/2023 – 01.42): Menurut Plt. Dirjen Bimas Katolik, A.M. Adiyarto Sumardjono, “Patung Bunda Maria itu ditutup oleh pemiliknya sendiri atas pertimbangan pribadi dan juga lewat dialog yang beberapa kali dibuat bersama FKUB, Kepolisian, Kemenag, Lurah, RT/RW dan pihak-pihak terkait.” (¬ Hidup Katolik)
¬ Hak cipta foto belum diketahui