Kamso tersenyum, saat dia di rumah Ahmad Jazzy datanglah kurir buku pesanan. “Entar aja bukanya, lebih penting ngobrol, Kang,” kata Ahmad.
Kamso tahu, Ahmad kembali berlangganan koran dan membeli lebih banyak buku, lebih sering, untuk mengurangi gangguan Nita Sirih, istrinya. Kalau Ahmad membaca di laptop, tablet, dan ponsel, selalu diinterupsi Nita. Diajak ngobrol apa saja.
“Lha kapan aku menikmati hari tua dengan membaca dan menikmati film di Netflix dan lainnya, Kang? Untuk musik aku masih suka CD dan vinyl, tapi kan perlu waktu khusus. Kalo pake Spotify dan Apple Music buat suasana aja sama di mobil.”
Kamso tersenyum saat Ahmad mengulangi cerita sering disemprot Nita saat menikmati film di iMac, pakai headphone, bukan di layar TV, “Aku dibilang egois, maunya dia nonton TV bareng, infotainment, dan berita.”
Juga cerita ulangan, “Kalo aku baca di iMac nggak diprotes, dia tahu mataku suka teks dan gambar besar, tapi nggak bisa lama. Aku baca di Kindle juga dia diemin.”
Kamso terus menyimak. Ahmad adalah pensiunan bankir. Kebugarannya bagus, masih tenis. Kedua anaknya bekerja di Belgia dan Mauritius.
“Kang Kam masih suka baca, kan?”
“Nggak. Dari dulu aku cuma baca buku sekadarnya, yang ringan. Sekarang mata nggak kuat. Aku lebih sering baca info selintas di hape dan tablet.”
Agar rumah bertambah penghuni, keponakan Nita tinggal di sana, daripada indekos. Bersama temannya beda kantor, juga cewek, mereka menempati semacam paviliun, bekas garasi, ada dapur kecil.
“Yang aku heran, mereka itu jurnalis tapi kok nggak pernah beli dan baca buku ya, Kang? Nggak pernah pake perpus di rumah ini. Dulu teman-teman di media itu pada punya perpus pribadi. Waktu aku tanya, jawabannya santai, mereka nggak kerja di Historia, Tirto, Tempo, dan Kompas.id. Entah apa maksudnya.”
“Lha akan semua serbadigital, Mad? Ada AI pula. Pinjem buku di Perpusnas secara online juga bisa.”
“Semua buku ada, Kang?”