“Mas, orang-orang Indonesia kaya yang masuk Forbes itu pada suka pamer nggak?” tanya Kamsi sambil mengecilkan suara TV.
Usai meletakkannya ponsel, Kamso menyahut, “Maksudnya pamer di medsos, Jeng? Setahuku sih nggak.”
“Misalnya nggak kenapa?”
“Mungkin karena usia. Mereka sudah tua, nggak main medsos.”
“Lalu mereka pamer di mana?”
“Nggak tahu. Mungkin malah nggak pernah pamer. Punya lukisan mahal juga nggak pamer. Keluarganya pun mungkin nggak sehedonis maupun seroyal cerita novel dan film Crazy Rich Asians. Bisa aja semua barang dan urusan mewah mereka punya, tapi nggak perlu ditunjukin ke publik. Pake private jet juga nggak perlu pamer, Jeng. Gitu juga kalo main yacht. Nonton opera di Eropa juga nggak pamer. Mungkin lho….”
“Malah ada tuh eksekutif bank, anak orang top kaya, pakai sepatu dilakban. Berlagak sederhana mungkin ya. Aku pernah denger, cici ipar si eksekutif lakban itu, putri konglomerat Surabaya, habis belanja di supermarket nelepon suaminya, minta dibayarin. Aneh, masa nggak bawa duit sama kartu? Atau pelit?”
“Ya, aku pernah denger. Malah suaminya kalo makan-makan bareng eksekutif anak perusahaan nggak pernah bayar. Mungkin cethil? Aku nggak tau apa para bos itu kemudian minta reimburse.”
“Percuma dong jadi orang kaya. Terus kalo ketemu sesama konglomerat ngomongin apa, nunjukin apa?”
“Konon kalo dua sastrawan ketemu, mereka nggak bahas sastra. Kalo orang kaya asli ketemu sesamanya mungkin nggak bahas harta, atau barusan beli apa. Entahlah, kalo Warren Buffet ketemu konglomerat Indonesia akan cerita apa selain pendingin Coca-Cola.”
¬ Gambar praolah: Freepik
4 Comments
Gak semua horang kayah suka pamer, my friend ehehe. Konon katanya yang suka pamer malah yang gak kaya kaya buwangett. Katanya lho.
Konon begitu 🙈
Soalnya kalau pamer langsung didatengi Rafael, Paman. 🙈😁
Mereka termasuk pembayar pajak pribadi terbesar. Orang pajak sudah tahu. Lebih enak memangsa orang kaya baru. 🙈