Sapto Rumangsa minta advis, bahkan koneksi, ke Kamso, untuk menggarap majalah internal. Tentu Kamso bingung, “Wah aku ndak paham jรฉ.”
“Lho, justru karena itu aku nanya Njenengan, Kang. Orang yang nggak paham bisa kasih perspektif lain,” kilah Sapto.
Kamso mengelak tapi terus didesak. Akhirnya jurus sotoy pun bekerja.
Kamso berceramah, “In-flight magazine, majalah di kursi sepur, newsletter hotel di kamar, udah ada yang nggarap. Gitu juga buletin KPK dan Parlemen milik DPR. Media milik instansi pemerintah, karena sudah dianggarkan, jalan terus. Kompeni partikelir udah bosen keluar duit buat biaya komunikasi cetak, mendingan bikin annual report yang cantik aja, vendornya selalu siap. Jelas?”
“Terus apa masalahnya, Kang?”
“Tetap. Cetak itu nggak efisien, sering kekurangan naskah, isinya membosankan, naskah telat. Lalu karyawan nggak ada yang baca, majalahnya dibawa pulang supaya nggak keliatan nganggur di meja. Di rumah, keluarga juga nggak ada yang baca, mosok istri atau suami harus baca urusan kerja pasangan, apalagi kalo suami istri satu instansi.”
“Supaya ikut baca gimana, Kang?”
“Kasih kuis berhadiah, buat ibu-ibu sampai anak-anak. Itu kalo tujuannya membangun esprit de corps melebar sampai ke ranah domestik karyawan. Yang lumrah sih ada artikel kesehatan dan kerohanian buat nilai tambah. Tapi udahlah. Era cetak udah jadi sejarah. Sekarang era online. Grup WhatsApp kantor lebih efektif.”
“Biarpun nggak ada yang baca, asal invoice bisa cair, aku tetap mau garap majalah buat karyawan maupun konsumen produk. Njenengan ada channel, Kang?”
ยฌ Gambar praolah: Unsplash
2 Comments
๐๐๐คฃ๐๐๐๐
Andai Kang Om Kamso ada channel (yang mau dibikinkan media internal), pasti sudah digarap sendiri oleh beliau….
Masalahnya memang masih adakah perusahaan/instansi/lembaga yang memerlukan.