Pamer di medsos itu normal

Dengan medsos, konten pamer kian meriah. Orang tak butuh media massa. Kendali unjuk diri ada di jarinya, bukan di redaksi media.

▒ Lama baca 2 menit

Pamer di medsos itu normal

Setiap orang dengan kesadaran sosial tinggi bisa pamer apa yang dia miliki, apa yang dia nikmati. Bisa, bukan harus. Respons orang lain beragam. Ada yang suka, kagum, bahkan memanfaatkannya sebagai rujukan, misalnya gaya busana, dari sniker hingga hijab.

Soal pamer di media sosial (medsos) sebenarnya luas tebaran tafsirnya. Ada pelaku yang tak merasa pamer, hanya merasa berbagi pengalaman dan impresi melalui foto dan video. Ada yang secara sadar memang pamer perolehan, mungkin agar dapat memotivasi orang lain. Respons setiap orang beragam, dari suka sampai sebal. Nyatanya ada followers, kan?

Jika menyangkut materi, obrolan Verrel Bramasta dan Boy William bisa kita petik: “… the first thing people judge you is based on how you look right what cars you drive. […] karena selling point kita adalah kita. We are the product.” (menit ke 14.28).

Respons setiap orang terhadap aneka pamer diri itu beragam, dari suka sampai sebal. Pemamer punya hak dan cara untuk unjuk diri. Penonton punya hak untuk suka dan tidak suka.

Maka secara kasuistis bisa muncul kontroversi. Fuji Utami melarang orang memotret rumah barunya, seharga Rp12 miliar — yang pernah dia pamerkan — demi privasi dirinya. Warganet berkomentar, sudah pamer rumah hasil mengumbar privasi kenapa kemudian melarang orang memfoto.

Soal pamer menjadi membosankan jika dibahas terus. Itu memang penyakit manusia. Seorang penceramah agama pun bisa memamerkan arloji dan mobilnya.

Bagi saya ada yang lebih menarik: dengan medsos, setiap orang yang suka pamer harta dan gaya hidup tak perlu bergantung pada media — yang dulu disebut “media massa” — untuk tertampilkan, apalagi seperti pada era media cetak.

Sebelum ada medsos, kuasa kabar hiburan tak berimbang. Pesohor pun bergantung pada media — jika perlu dengan sesi foto khusus dan bahkan pengarah gaya. Maka laporan pesta dalam majalah gaya hidup menjadi album foto, hanya ada kapsi nama tanpa atribut.

Kalau ada pembaca yang tak paham itu siapa berarti dia kurang termutakhiri. Padahal prinsip kuno jurnalistik harus menyebut atribut. Meskipun orang sudah tahu siapa presidennya, saat menyebutkan nama dalam paragraf pembuka, media harus menyertakan atribut “presiden”. Hal sama berlaku untuk aktor dan aktris serta atlet dan musisi.

Mereka yang merasa seleb, terlebih yang bukan seleb, ingin tahu apa yang dikenakan para tetamu pesta, terutama hadirat, sejak alas kaki sampai potongan rambut. Tetapi untuk tertampilkan, para tokoh tergantung redaksi media.

Pada zaman tak enak saya pernah membawahi sekian rubrik di media cetak. Saya beberapa kali melakukan kesalahan: menyingkirkan foto yang kurang bagus, termasuk dari sisi sudut bidik dan komposisi, dari sejumlah pesohor. Misalnya karena kamera lebih tinggi dari kepala seleb yang difoto, sehingga dia yang berdiri sendiri tampak pendek.

Di mana masalahnya? Karena isi kabar remeh, berupa kutipan langsung, didapat dari narasumber dalam suatu pesta, maka pembaca — termasuk para pelanggan salon — ingin tahu apa yang narasumber kenakan. Seburuk apapun fotonya. Sepatu, tas, perhiasan, harus tampak.

Dalam medsos, melalui akun masing-masing, kuasa akan tampilan diri tetap dalam kendali setiap pribadi. Pelakunya bisa pesohor hiburan, pebisnis, politikus, bisa juga pejabat publik dan bahkan istri dan anaknya.

Bagaimana pamer diri secara aman, beda orang beda ukuran. Salah satu prinsip sosial: kalau masih banyak utang jangan terlalu bergaya dan pamer.

Kalau harta ternyata hasil dari laku tak elok, bahkan melanggar hukum, meskipun oleh suami, istri, atau orangtuanya?

Penutupan akun dan penghapusan sejumlah foto pamer adalah indikasi bahwa ada giliran pemampangan diri dirasa merugikan.

Pamer karya, pamer kaya, di medsos

Majalah lawas gaya hidup

Jurnalisme Gaya Hidup

¬ Gambar praolah: Freepik

Konglomerat di Forbes itu suka pamer nggak sih?

17 Comments

junianto Jumat 17 Maret 2023 ~ 20.24 Reply

Dulu saya suka pamer dua trail tua (yang tidak orisinal, alias trail tua prakarya) di FB dan IG. Hasilnya adalah komentar olok-olok dari kawan-kawan di FB, misalnya “rajin posting tapi tak pernah touring”. 😁

Belakangan saya jarang pamer. Bukan karena tidak tahan dirisak tapi lantaran bosan sendiri, karena hanya itu-itu saja yang bisa saya pamerkan.

Pemilik Blog Sabtu 18 Maret 2023 ~ 12.56 Reply

Kalo touring juga harus pamer? 🤣🤣🤣🤣

junianto Sabtu 18 Maret 2023 ~ 19.22 Reply

Lha saya blas gak pernah touring, travas, dan semacamnya, sehingga nggak pernah bisa pamer.😁

BTW daripada pamer tril tua kawe, sekarang saya lebih suka dan lebih sering pamer cucu — harta yang tak ternilai, dan tidak bikin bosan saya untuk memosting.

Pemilik Blog Minggu 19 Maret 2023 ~ 16.28

Nah, “kediaman” itu pun layak pamer 😇

srinurillaf Jumat 17 Maret 2023 ~ 09.53 Reply

Ya Allah. Deg deg an pas baca judulnya. Puji syukur, kalau berdasarkan tulisan Mas, sepertinya isi socmed saya bukan masuk kategori pamer. Semoga. 🤲.
Soalnya tas dan sendalnya itu itu saja sih 😂

Pemilik Blog Jumat 17 Maret 2023 ~ 18.30 Reply

Lho pamer juga gpp kok. Blog ini juga suka pamer menurut saya, tapi kata orang itu berbagai.

Pamer boleh. Menghina orang jangan. 😇🙏

srinurillaf Sabtu 18 Maret 2023 ~ 18.50 Reply

Ehehe benul juga ya Mas. Setuju 😅💯

Jagawana Kimi Kamis 16 Maret 2023 ~ 16.54 Reply

Huhuhu… Baiklah. Aku tulis lagi ya. Tadi aku komen kalau aku sepakat dengan Paman. Ya gak masalah orang-orang kalau mau pamer di medsosnya. Tinggal kitanya aja yang memilah. Kalau tidak suka ya tidak usah dilihat. Yang penting selama duitnya halal ya sah-sah saja kalau dia mau pamer. Yang nyebelin itu kan udah mah duit haram, eh ditambah pamer kan semacam masih haus pengakuan juga. Wkwkwk.

Pemilik Blog Jumat 17 Maret 2023 ~ 09.39 Reply

Ehm, itulah yang aneh.
Dulu ada putri koruptor, yang akhirnya dieksekusi masuk bui, ladahal sudah lama divonis tetap, yang hepi dan santai flexing antara lain sedang di luar negeri. Kok gak malu ya?

AAn. Kamis 16 Maret 2023 ~ 06.57 Reply

Sudah khittah-nya sosmed buat pamer. Tapi, apa perlu menggubah ulang kurikulum PMP agar tidak cuma mempersilakan orang tua duduk di kendaraan umum. Tetapi juga tertib berekspresi di sosmed. Jiah… 😁😁😁

Pemilik Blog Kamis 16 Maret 2023 ~ 12.08 Reply

Lebih wigati adab di tempat umum, dari naik transportasi, masuk lift, sampai saat buka tutup pintu minimarket dan lainnya harus menengok ke belakang dulu.

Kalo yang itu beres yang lain juga, termasuk maaf gak ada lagi pamer tubuh tanpa melepas busana keagamaan. 🙏

AMD 😂 Kamis 16 Maret 2023 ~ 06.55 Reply

Bener ini, Paman. Sering banget aku merasa jengkel baca berita inpotemen di media online yang ga pernah kasih atribut who ini ke subyek berita. Banyak berita tentang tokoh tapi setelah disebut namanya ga dikasih penjelasan lagi siapa dia ini, apa pekerjaannya, atau minimal apa sebab musabab dia dijadikan pemberitaan.

Pemilik Blog Kamis 16 Maret 2023 ~ 12.04 Reply

Redaksi memperlakukan produknya sebagai media internal komunitas sosialita atau yang merasa menuju sosialita 😁
Semua orang dianggap bahkan diharuskan sudah paham who’s who 😁

Kalo di Twitter orang santai saja, bisa nanya itu siapa dan ada yang jawab bahkan kasih tautan

Jagawana Kimi Kamis 16 Maret 2023 ~ 05.18 Reply

Tadi aku sudah komen apakah komenku masuk? Huhuhu… Sebal.

Pemilik Blog Kamis 16 Maret 2023 ~ 05.55 Reply

Yang ini masuk. Maaf, maaf, itu si penyaring spams kadang diskriminatif thd orang baik 🙏🙏💐

Jagawana Kimi Kamis 16 Maret 2023 ~ 16.56 Reply

Hahaha… Sudah menulis ulang komen serupa, tetapi masih gak masuk juga. Galat apa gitu tadi namanya. Dan aku coba ketik ulang lagi. Sepertinya masuk spam. Huhuhu… Sedih.

Pemilik Blog Jumat 17 Maret 2023 ~ 09.37

Halo Kimi. Terima kasih sudah menoleransi kegagalan komen 🙏

Apa boleh buat terpaksa saya lakukan krn dalam sehari blog ini menerima puluhan spams, bahkan kadang sampai seratus lebih 🙏💐

Tinggalkan Balasan