Foto ini tak jelas. Tetapi saya menyimpulkan foto ini adalah pose bersama sekelompok orang dan sepasang pengantin. Jika benar, mengapa dipasang sebagai spanduk sepanjang kira-kira dua meter di pinggir jalan?
Jawaban untuk pertanyaan naif dan bodoh saya mungkin saja simpel, “Suka-suka kita dong, Oom! Emang situ dirugikan?”
Tetapi bisa jadi ada jawaban lain jika saya bertabayun kepada pemasang gambar. Apapun jawabannya saya hormati. Masalah perizinan dan pajak reklame itu urusan dispenda dan satpol PP.
Bagi saya ada dua hal menarik. Pertama: teknologi cetak digital menjadikan pembuatan gambar besar untuk kepentingan apa saja lebih mudah dan lekas. Secara ekstrem, bandingkanlah dengan baliho bioskop zaman lawas yang dikerjakan manual.
Kedua: media sosial belum memuaskan. Sudah jamak apabila mempelai pengantin maupun tetamu memasang foto di media sosial. Tetapi cara mudah dan gratis itu rupanya masih kurang. Maka perlu langkah transmedia, dari layar ponsel lalu ke medsos dan media luar ruang, bila perlu sampai outdoor LED display atau videotron karena akan memantul ke medsos.
Bukan hal baru jika urusan cinta dan terlebih pernikahan disampaikan kepada publik. Buat apa mengundang orang kalau tak ingin diketahui.
Untuk urusan deklarasi cinta, sepihak maupun kesepakatan berdua, sebelum marak medsos dengan dukungan ponsel pun sudah ada orang memasang spanduk sebagai kelanjutan menorehkan pisau pada kulit batang pohon.
Langkah lanjut deklarasi, yakni lamaran, pun biasa jika divideokan untuk medsos. Publik yang girang akan bilang, “So sweet….” Publik yang tak paham akan berkomentar, “Entar kalo ngajak cerai juga dipublikasikan, padahal gugatan belum masuk pengadilan?”
Menyangkut foto pernikahan orang biasa sebagai berita, koran Kompas punya tradisi setiap kali wartawan atau wartawatinya menikah pasti jadi berita kecil dengan foto.
Lalu? Kembali ke bahasan awal. Foto bersama mempelai dalam spanduk di Bekasi, Jabar, ini sebenarnya hal biasa. Ungkapan anak sekarang β “Konsepnya apa sih?” β tak perlu dikedepankan. Medsos memberi kesempatan warga untuk membuat berita sendiri, tak tergantung penerbit media berita.
Soal lain, ya itu tadi. Cetak digital menjadikan siapapun bisa bikin foto besar, dalam jumlah selembar sampai tak terbatas. Citra visual gigantik menjadi hal biasa, semuanya berebut ruang tebar pandang.
Sebuah Baliho besar di Perempatan Rejowinangun DIY Jateng, terpampang foto seorang wanita. Ternyata itu adalah foto Ibu Sarmintul yang sengaja dipasang oleh suaminya Pak Sarmintul sebagai ucapan Selamat Ulang Tahun kepada istri tercintanya. #TopNews https://t.co/PxpYPR65Mh pic.twitter.com/zxt0uDEcvs
— kumparan (@kumparan) November 29, 2021
2 Comments
Jadi ingat, sekian tahun silam saat saya menikah di Solo, foto (resepsi) pernikahan saya dengan istri tayang di koran tempat saya bekerja kala itu.π Beberapa dari banyak tamu undangan adalah anggota DPR RI yang datang dari Jakarta….
πππ π Top saΓ¨stu!