Mendapati bengkuang (Pachyrhizus erosus) untuk lotis saya teringat dua peristiwa saat masih bocah. Pertama: saat berusia sembilan tahun, saya ikut anak-anak yang lebih besar ke jurang, waktu itu masih pinggir kota, di Grogol, Salatiga, Jateng, mencari pring tulup atau bambu tamiang (Schizostachyum blumei) untuk membuat sumpit yang bukan alat makan.
Bambu berbatang kecil, bisa untuk seruling, itu tumbuh di tebing jurang. Anak-anak yang lebih besar dan pemberani bisa memanjat tebing untuk memotongnya. Selama perjalanan menuju dan dari lokasi, berjalan kaki, memintas ladang, kami tak berbekal apapun termasuk uang. Untuk mengatasi haus dan lapar kami meminta bengkuang dari petani.
Setelah dicabutkan Pak Tani dari tanah, umbi itu kami kupas dan makan. Waktu itu, musim kemarau, bengkuang yang tak masuk kulkas rasanya segar. Tetapi kalau ada uang tentu kami memilih membeli es.
Pengalaman kedua? Setahun dua tahun setelah pengalaman pring tulup, di rumah ada tamu, mahasiswa dari jauh sekali, yang berkuliah di UKSW. Usai makan malam, bapak saya membiarkan sang tamu yang kami sapa Oom itu ngobrol dengan anak-anak.
Si Oom berkisah, sebelum pergi ke Salatiga dia diweling pengurus gereja di kampung asal bahwa di Jawa umbi-umbian harus direbus.
Suatu hari, di Salatiga, si Oom membeli seikat umbi di pasar. Di pondokan umbi itu dia rebus. Sudah lama direbus, umbi ditusuk garpu masih juga keras. Lalu induk semang pun ingin tahu apa yang sedang dimasak.
Si Oom mengisahkan reaksi ibu kos, “Oh Nak, itu bengkuang!”
7 Comments
Sudah bertahun-tahun tidak.makan bengkuang…
Lha mbok coba pesan lotis, Lik
Lha mboten seneng. Tiap hari ada sih penjual yang lewat depan rumah saya.
Waaaaaa lha gimana lagi wong ndak suka ya 🤣
😅
Bengkuang jaman dulu terasa segar dan manis. Bengkuang kualitas terbaik sekarang mungkin habis buat kosmetik. Atau lidahnya yg telah berevolusi? 😁
Saya juga menduga begitu dalam arti kedua hal itu, terutama yang kedua, soal lidah 😇