Saat menyetrika baju saya teringat galeri foto Kompas.id kemarin tentang pakaian bekas selundupan — orang bilang baju-bekas impor, bukan baju bekas-impor, karena dari luar negeri. Pro-kontra tetap berlangsung.
Pemerintah dan kalangan industri garmen jelas menolak. Kalangan konsumen dan pedagang baju bekas punya sekian pembenar, dari penghematan dengan tetap bergaya sampai isu lingkungan. Soal kesehatan produk, konsumen punya tangkisan: mencuci bersih setelah membeli.
Baju bekas merugikan industri garmen. Dalam retorika Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, “Kemendag (mengatur) yang enggak boleh itu impor. Kalau kita boleh jual barang bekas, yang tidak boleh impor barang bekas. Kalau sudah tersebar bagimana? Ya kita cari.” (¬ Tempo.co)
Kalau impor dilarang, berarti barang yang masuk adalah ilegal karena merupakan hasil smokel atau selundupan. Pintu masuk ada di Sumatra sampai Indonesia Timur, melalui pelabuhan kecil. Namun berita media banyak yang menggunakan istilah impor, bukan selundupan.
Dari sisi konsumen, karena menyangkut penghematan, istilah thrifting maupun thrift shopping lebih disukai. Sebenarnya thrift shopping berarti belanja hemat bin bijak, terutama untuk barang second hand atau tweedehands, di toko khusus.
Di Singapura ada Thryft.Asia, menyediakan buku bekas dan pakaian bekas, melayani pemesanan daring dalam harga rupiah. Di Indonesia sejauh saya tahu tak ada toko di ITC maupun pasar yang menyediakan buku bekas dan sekaligus pakaian bekas. Mungkin, peminat pakaian bekas belum tentu doyan buku bekas.
https://twitter.com/Android_AK_47/status/1354885762110476288?t=8ichlxMD8GyKPDCm4AgV2w&s=19
Saya belum menengok sumber sahih, namun saya menduga pakaian siap pakai, yang baru bukan bekas, mewarnai konsumsi Indonesia mulai awal 1970-an. Foto lawas pemuda dan pemudi bercelana cutbrai, atau bell bottom, sebagian besar adalah busana tailor-made.
Sebelumnya, dari anak sekolah hingga pensiunan, akrab dengan baju tailor pelbagai kelas dan modiste, serta bikinan ibu di rumah yang memiliki mesin jahit dan bisa menjahit. Itulah masa toko cita, atau toko kain, juga ada di pasar. Itu juga masa majalah wanita membonuskan pola potong baju dalam kertas terlipat — tetapi buku pola masih dijual. Ibu saya (90), ketika masih kuat, menjahit baju sendiri.
Seiring kesejahteraan masyarakat dan kemudahan investasi, industri garmen tumbuh. Pakaian ready-to-wear terjangkau oleh banyak orang. Lebih murah ketimbang ke penjahit.
Maka mobil pikap, sebagai toko berjalan, menggelar dagangan di pasar. Obral baju di Ramayana dan Matahari adalah hal biasa. Jokowi secara demonstratif kerap membeli pakaian produksi lokal sebagai kampanye cinta produk dalam negeri.
Produksi massal menjadikan pakaian makin terbeli. Lalu datanglah baju bekas dalam volume besar. Urusan padu padan menjadikan seni berbusana lebih gampang. Kalau bosan tinggal membuang atau melungsurkan. Ukuran lemari pakaian menjadi rem pembelian baju.
Persoalan kita adalah kita orang biasa, bukan rahib dan pertapa yang cukup dengan pakaian seadanya — soal ini pula yang menggerakkan industri pakaian jadi. Pasar baju baru, dan kemudian pasar baju bekas, sulit membuat konsumen menerapkan zero growth: manakala sehelai baju baru masuk almari, berarti harus ada sehelai baju lama yang keluar.
🇨🇱 Images from the Atacama desert, which has become a dumpster for the global fast fashion industry. Over 100,000 tons of clothing, many of them new items with price tags that weren't sold or used, have been dumped in the Atacama desert in Chile. pic.twitter.com/1IrRA2bw7t
— Peoples Dispatch (@peoplesdispatch) January 5, 2022
6 Comments
OMG, lengkap sekali ini reportasenya, Paman. Puas banget baca tulisan ini 👍. Ilustrasi pendukungnya juga sangat informatif 👍👍. We learn a lot 👍👍
Suwun, Jeng. Itung-itung buat obat amnesia 🙏🌹
Kadang saya pengin beli kaus, tapi tatkala membuka lemari pakaian melihat banyak kaus, bahkan sebagian belum pernah dipakai, keinginan itu langsung rontok.
Di lingkungan saya bukan ringgo tapi Mbah Ringgo : kumbah, garing, langsung dienggo. Saat kuliah celana jin saya cuma satu sehingga Mbah Ringgo. 😬
Nah. Msh dibungkus. Itu terjadi saat saya doktor. 🙈
Orang ngeliatnya saya jarang ganti baju, krn sering pake kemeja putih dan denim 🙈.
Padahal stoknya banyak
Di Yogya populer dengan sebutan pakaian awul-awul, dan banyak toko yang dipakai menjual.
Dahulu kala saat saya bekerja di Yogya saya beberapa kali membeli awul-awul. Ketika saya bawa pulang ke Solo, diledek istri bahwa saya beli mbaldok, singkatan dari gombal digodok. Maksudnya, pakaian bekas alias gombal yang harus dicuci dan digodok (direbus) sebelum dipakai — agar kuman-kumannya hilang. 😁
Sebenarnya kalo kita nggak ada masalah dgn cuci dan setrika, termasuk laundry, pakaian nggak perlu banyak kan?
Orang Jawa bilang ringgo
Garing langsing dienggo 🤣