Tadi malam saya didatangi petugas Pantarlih (Panitia Pendaftaran Pemilih) Pemilu. Setelah utusan selesai, mereka meninggali stiker untuk saya tempelkan pada pintu. Pagi tadi, saat akan menempelkan, saya baru sadar ada tulisan “coklit” pada stiker. Lho padahal warna stikernya cokelat, kan?
Lalu saya menebak, coklit itu akronim “pencocokan dan penelitian”, suatu hal yang juga tertulis pada stiker.
Baiklah. Persoalannya sudah jelas. Sekarang soal penempelan stiker. Saya senang karena petugas tak mau repot menempel sendiri dan menyerahkan urusan kepada tuan rumah.
Stiker adalah temuan ajaib pada abad XX. Orang bisa menempelkan lembaran kertas dan plastik, bahkan logam, pada permukaan apa saja tanpa memerlukan paku maupun baut. Jeleknya stiker, kalau sudah lama menempel, apalagi terlalu lama sehingga terlihat sudah memudar, akan sulit dilepaskan.
Maka saya memilih menempelkan stiker tanpa melepaskan lembar berperekat dari kertas licin yang seperti berlilin itu. Stiker utuh saya tempelkan pada bagian dalam kaca pintu dengan selotip. Semoga pada 2024 stiker itu tak pudar.
Sebelum mengenal kata cokelat, kita menyebut warna yang itu apa?
4 Comments
Ada yang baca stiker itu ndak?
Kalo stiker berupa logo brand, termasuk logo band, mestinya kita nggak usah beli kan?
Kalau bangsa logo band, dulu pernah jadi sisipan/bonus majalah Hai apa ya?
Logo brand, termasuk Levi’s?
Ada yang pernah saya beli, saat remaja, tapi betul-betul lupa. Lagi-lagi soal ingatan….
Logo band, jeans, mobil, motor sama: akhirnya jadi jualan, ada yang legal dan ada yang tidak dlm bisnis merchandising.
Logo Harley-Davidson paling laku, mewakili impian banyak orang padahal gak disandang di Suzuki Carry lawas hasil karoseri
Ada masanya saya pernah senang dan sering beli stiker, tetapi sekarang — setelah puluhan tahun berselang — saya lupa stiker apa saja yang pernah saya beli.