Salah satu buku seputar jurnalisme yang menarik bagi saya adalah sebuah episode komik Lucky Luke: Daily Star. Ceritanya tentang perjuangan sebuah koran menghadapi serangkaian ancaman, sabotase, dan penyerangan — plus penculikan.
Maka dalam rangka yang mana menyambut daripada Hari Pers Nasional 2023 saya mencuplik komik karya Morris et al tersebut.
Latar kisahnya memang bukan di Indonesia melainkan Wild West Amerika Serikat pada abad XIX, dengan memarodikan perjuangan tokoh pers Horace Greeley (1811—1872), pendiri koran The New York Tribune.
Dalam komik, Horace bikin koran Daily Star di kawasan barat yang liar, dengan mesin cetak berhuruf timah yang selalu menyertainya. Horace menjadi penerbit, pemimpin redaksi, reporter, operator cetak, dan penjaja sebelum memiliki loper. Akhirnya dia menetap di Dead End City, kota nan keras, berisikan para tokoh licik.
Slogan korannya: Always Independent, but Never Neutral. Kalau Suara Merdeka di Semarang Jateng, dahulu, pada era Hetami: Independen, Objektif, tanpa Prasangka.
Lalu apakah media boleh berpihak, lantas apa bedanya skeptisisme dan prasangka, kita diskusikan lain kali.
Media berita — sebagai bisnis yang mencari untung, maupun klangenan pemiliknya sebagai kendaraan untuk kepentingan yang lebih besar — dalam bahasa kewiraan dan bela negara selalu menghadapi TAHG: tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan.
Halah, maaf berlebihan. Angkringan sega kucing juga begitu. Setiap pekerjaan selalu menghadapi masalah. Klise? Ya. Intinya bagaimana mencari dan menemukan solusi.
Media termasuk entitas yang aneh karena romantis: sebagai institusi sosial mereka menugasi diri sendiri lalu menjadi alasan kehadiran. Tiada yang menyuruh. Semata karena keterpanggilan. Setidaknya, menurut mitos, begitu.
Kompas, yang bersemboyankan Amanat Hati Nurani Rakyat, ada klaim diri keterpanggilan, lahir atas permintaan Presiden Soekarno, karena Partai Katolik belum punya koran, padahal partai lain, yang sekuler maupun berbasis agama, sudah punya koran.
Lalu perjalanan waktu, jika suatu media bisa awet, akan menghadirkan babad untuk dinilai publik. Babad itu melekat bersama si media sebagai lembaga berikut produknya.
Tetapi, ya tetapi, bukankah cerita Lucky Luke adalah kisah koran, alias media cetak?
Ya. Situasi masyarakat saat itu di Wild West, pun pada masa perjuangan membentuk nasion Indonesia, berbeda dari hari ini. Dahulu belum ada media media digital dan media sosial karena belum ada internet.
Hari ini, misalnya ada pohon asam besar tumbang, sehingga menutupi jalan utama penghubung dua desa, warga langsung mengunggah video di medsos, sekalian menjawil akun polisi lokal dan kantor kecamatan plus kantor bupati. Pihak terjawil akan mengonfirmasi.
Kemudian media terlembagakan, bukan blog personal, yang memuat Pedoman Media Siber dari Dewan Pers maupun yang tidak, akan membuat kabar tindak lanjut.
- Judul: Lucky Luke (Daily Star)
- Penyusun: Gambar oleh Morris, cerita oleh X. Fauche dan J. Léturgie (Dargaud Éditeur, Paris, 1984)
- Alih bahasa: Fandi Achmad Shofwan
- Tebal: 48 halaman
- Penerbit: Elex Media Komputindo, Jakarta (2013)
*) Judul posting memelesetkan buku Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (1997, 2005)
5 Comments
Dahulu kala saya membaca banyak episode komik Lucky Luke (dan Tintin), dan episode Daily Star ini saya cuma capet-capet ingat.
Menarik, tentang rekrutmen wartawan (koran) dalam episode tersebut : moral tak penting, untuk jurnalistik sensasional, yang penting kerja keras. Mengingatkan saya pada kondisi media internet sekarang, meski di kita kriterianya tak disebut setransparan itu.
Makanya adegan tsb saya foto.
Soal lain tentu literasi pembaca spt disebut Najwa ketika ngobrol dgn Ari Lasso soal wartawan Bodrex 🙏
👍
Selamat Hari Pers Nasional, Paman🎉. Terima kasih atas artikel yang panjang tapi sangat informatif (khas Blogombal👍) ini. Sayangnya di masa kini justru tulisan bernas begini makin jarang kulihat di media mainstream Indonesia. Mungkin aku yang pikniknya kurang jauh ya🙈.
Terima kasih, Jeng.
Paling romantis dan heroik kalau bicara media terancam, bahkan mati, karena ditindas negara, bukan karena gagal di pasar. 🙈
Persoalan media kian berat 🙈