Ketika jurnalisme dibungkam, sapi harus ditulisi

Dari komik Lucky Luke kita belajar fungsi media berita. Tantangan hari ini lebih rumit. Masyarakat belum tentu mau membeli warta.

▒ Lama baca 2 menit

Salah satu buku seputar jurnalisme yang menarik bagi saya adalah sebuah episode komik Lucky Luke: Daily Star. Ceritanya tentang perjuangan sebuah koran menghadapi serangkaian ancaman, sabotase, dan penyerangan — plus penculikan.

Maka dalam rangka yang mana menyambut daripada Hari Pers Nasional 2023 saya mencuplik komik karya Morris et al tersebut.

Latar kisahnya memang bukan di Indonesia melainkan Wild West Amerika Serikat pada abad XIX, dengan memarodikan perjuangan tokoh pers Horace Greeley (1811—1872), pendiri koran The New York Tribune.

Lucky Luke mesin cetak di atas rel
AWAS! | Terlalu bersemangat itu berbahaya, belum tentu ada hubungannya dengan pemberitaan.

Dalam komik, Horace bikin koran Daily Star di kawasan barat yang liar, dengan mesin cetak berhuruf timah yang selalu menyertainya. Horace menjadi penerbit, pemimpin redaksi, reporter, operator cetak, dan penjaja sebelum memiliki loper. Akhirnya dia menetap di Dead End City, kota nan keras, berisikan para tokoh licik.

Slogan korannya: Always Independent, but Never Neutral. Kalau Suara Merdeka di Semarang Jateng, dahulu, pada era Hetami: Independen, Objektif, tanpa Prasangka.

Lalu apakah media boleh berpihak, lantas apa bedanya skeptisisme dan prasangka, kita diskusikan lain kali.

Lucky Luke: Horace wawancara
ETIKA | Hendaklah wawancara dinyatakan sebagai wawancara, bukan ngobrol lalu dimuat sebagai hasil wawancara khusus.
Lucky Luke berita investigatif
SELIDIK | Investigasi adalah bagian dari jurnalisme, sejak dahulu begitu. Tapi kini katanya liputan investigatif itu mahal.
Lucky Luke: aspek bisnis koran
BISNIS | Persoalan bisnis media adalah dari mana datangnya uang karena jurnalisme membutuhkan biaya.

Media berita — sebagai bisnis yang mencari untung, maupun klangenan pemiliknya sebagai kendaraan untuk kepentingan yang lebih besar — dalam bahasa kewiraan dan bela negara selalu menghadapi TAHG: tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan.

Halah, maaf berlebihan. Angkringan sega kucing juga begitu. Setiap pekerjaan selalu menghadapi masalah. Klise? Ya. Intinya bagaimana mencari dan menemukan solusi.

Lucky Luke: berita pada tubuh sapi
GIGIH | Pasokan kertas disabotase, lalu berita ditulis pada badan sapi bukan atas nama seni rupa kontemporer.

Media termasuk entitas yang aneh karena romantis: sebagai institusi sosial mereka menugasi diri sendiri lalu menjadi alasan kehadiran. Tiada yang menyuruh. Semata karena keterpanggilan. Setidaknya, menurut mitos, begitu.

Kompas, yang bersemboyankan Amanat Hati Nurani Rakyat, ada klaim diri keterpanggilan, lahir atas permintaan Presiden Soekarno, karena Partai Katolik belum punya koran, padahal partai lain, yang sekuler maupun berbasis agama, sudah punya koran.

Lalu perjalanan waktu, jika suatu media bisa awet, akan menghadirkan babad untuk dinilai publik. Babad itu melekat bersama si media sebagai lembaga berikut produknya.

Lucky Luke: media pesaing Daily Star
PESAING | Kalau hanya ada satu media, apa menariknya? Banyak media itu bagus. Masing-masing mewakili selera pembacanya.

Tetapi, ya tetapi, bukankah cerita Lucky Luke adalah kisah koran, alias media cetak?

Ya. Situasi masyarakat saat itu di Wild West, pun pada masa perjuangan membentuk nasion Indonesia, berbeda dari hari ini. Dahulu belum ada media media digital dan media sosial karena belum ada internet.

Lucky Luke: ketika koran Daily Star tidak bisa terbit
MEDIUM | Suatu kali koran tidak bisa terbit karena redaksi dan percetakan diganggu. Loper pintar menghafalkan berita untuk dideklamasikan, maklum belum ada radio. Medium is the…?

Hari ini, misalnya ada pohon asam besar tumbang, sehingga menutupi jalan utama penghubung dua desa, warga langsung mengunggah video di medsos, sekalian menjawil akun polisi lokal dan kantor kecamatan plus kantor bupati. Pihak terjawil akan mengonfirmasi.

Kemudian media terlembagakan, bukan blog personal, yang memuat Pedoman Media Siber dari Dewan Pers maupun yang tidak, akan membuat kabar tindak lanjut.

  • Judul: Lucky Luke (Daily Star)
  • Penyusun: Gambar oleh Morris, cerita oleh X. Fauche dan J. Léturgie (Dargaud Éditeur, Paris, 1984)
  • Alih bahasa: Fandi Achmad Shofwan
  • Tebal: 48 halaman
  • Penerbit: Elex Media Komputindo, Jakarta (2013)

*) Judul posting memelesetkan buku Seno Gumira Ajidarma, Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara (1997, 2005)

Selamat Hari Pers

5 Comments

junianto Jumat 10 Februari 2023 ~ 18.09 Reply

Dahulu kala saya membaca banyak episode komik Lucky Luke (dan Tintin), dan episode Daily Star ini saya cuma capet-capet ingat.

Menarik, tentang rekrutmen wartawan (koran) dalam episode tersebut : moral tak penting, untuk jurnalistik sensasional, yang penting kerja keras. Mengingatkan saya pada kondisi media internet sekarang, meski di kita kriterianya tak disebut setransparan itu.

Pemilik Blog Jumat 10 Februari 2023 ~ 18.34 Reply

Makanya adegan tsb saya foto.
Soal lain tentu literasi pembaca spt disebut Najwa ketika ngobrol dgn Ari Lasso soal wartawan Bodrex 🙏

AMD 😂 Jumat 10 Februari 2023 ~ 15.25 Reply

Selamat Hari Pers Nasional, Paman🎉. Terima kasih atas artikel yang panjang tapi sangat informatif (khas Blogombal👍) ini. Sayangnya di masa kini justru tulisan bernas begini makin jarang kulihat di media mainstream Indonesia. Mungkin aku yang pikniknya kurang jauh ya🙈.

Pemilik Blog Jumat 10 Februari 2023 ~ 18.01 Reply

Terima kasih, Jeng.
Paling romantis dan heroik kalau bicara media terancam, bahkan mati, karena ditindas negara, bukan karena gagal di pasar. 🙈
Persoalan media kian berat 🙈

Tinggalkan Balasan