Pagi tadi saya melewati dua bangunan bekas TK. Jarak keduanya tak sampai seratus meter. Keduanya sudah lama tidak beroperasi. Pada foto pertama, paling atas, masih tampak jejaknya sebagai bekas TK. Ada pagar warna-warni dan tiang gawang untuk bandulan, berlatar tembok bergambar khas TK. Kini bekas TK itu menjadi bagian dari dua rumah tinggal yang beradu punggung, bekas sekolah itu di tengah.
Sedangkan bekas TK yang lebih dahulu tutup, dalam gambar kedua, kini menjadi tiga pintu rumah kontrakan. Sebelumnya bangunan di sudut jalan itu sempat menjadi warung Padang.
TK yang ada jejaknya itu mungkin tutup belum ada sepuluh tahun silam. Saya lupa. Sedangkan TK yang menjadi kontrakan itu tutup pada awal 2000-an. Kedua TK itu hadir bersama kompleks perumahan tempat mereka berlokasi, medio 1980-an. Alumninya adalah anak-anak warga kompleks dan sekitarnya. Kini mereka sudah menjadi ayah dan ibu.
Penyebab kedua TK itu tutup, kata warga, karena anak-anak kecil habis. Tentu tak berarti bayi tak bertambah, tetapi para orangtua muda itu berpindah ke tempat lain sebagai keluarga baru.
Dalam ayunan langkah jalan kaki, tadi, saya teringat sekolah-sekolah swasta baru di permukiman luar DKI, pada awal 1990-an. Madania di Telaga Kahuripan, Bogor, dan Santa Laurensia, Alam Sutera, di Tangsel, adalah contoh.
Saya pun teringat sekolah-sekolah lama yang membuka cabang, misalnya Santa Ursula di BSD, Tangsel. Pasangan muda berpindah ke pinggir bahkan luar kota, mereka memerlukan TK hingga SMA untuk anak-anaknya. Anak-anak tak perlu bersekolah ke Jakarta.
Menyekolahkan anak ke Jakarta jelas merepotkan. Saya tinggal di Bekasi, anak-anak bersekolah di Jakarta, untuk SMP dan SMA jauh, karena di Jalan Otista, Jaktim, lalu di Lapangan Banteng, Jakpus, dan di Pejaten, Jaksel, sementara ibunya, sebagai guru di Jakbar, menjadi sopir.
Dahulu si ibu kadang sekalian mengantar anak lanang mbarep ke kantornya, dekat Lab School Jalan Ahmad Dahlan, Jaksel. Untunglah kedua putri kami tak menjalani SMA berbarengan.
Menyangkut anak, dan pertumbuhan penduduk, tentu bicara tentang keluarga berencana. Kondisi Indonesia saat ini, tentu penduduk terus bertambah, namun sebenarnya angka pertumbuhan berkurang.
Kini ramai isu kecenderungan berkurangnya populasi generasi muda terutama yang berkualitas. Para orangtua juga kerepotan membangun rumah untuk keluarga banyak anak, selain juga tak sanggup membiayai pendidikan banyak anak.
Sila simak video Rhenald Kasali ini. Ada sejumlah masalah akibat jumlah anak sedikit.
Β¬ Poster KB: Kemenkes
7 Comments
Ehehe. Ya gapapa to. Generasi jaman sekarang lebih mengutamakan kualitas anak daripada kuantitas. Buat apa banyak anak, melahirkan terus, tapi gak terawat.
Toh sekarang bumi ini sudah overpopulasi. Kalau ada pasangan yang berkorban untuk gak pengen punya banyak anak, atau malah memutuskan childfree (seperti yang sedang viral saat ini), malah harus terima kasih ke mereka. Sumber daya di bumi akan steady dan gak akan rebutan. Ehehe.
Efeknya pengangguran menurun, tingkat kemiskinan menurun.
Saya dukung lah πβ
Iya Mbak, saya selama ini juga mikir gitu dan mendukung bbrp teman cewek yg milih unmarried sehingga tdk punya anak.
Di sisi lain saya juga menghormati pilihan perempuan lajang untuk jadi single mom, daripada menjadi istri dari pria yang membuahi dirinya π
Yang jadi masalah jika ekonomi tidak kuat tapi anak banyak π
Iya betul Mas. Saya sependapat ππ₯°
Jangan dipentung ya
Di Jepang makin banyak pasangan ogah punya anak, sehingga tingkat kelahiran menurun drastis.
https://www.detik.com/jabar/berita/d-6533671/resesi-seks-hantui-jepang
Lha ya itu. Salah satu sebab adalah banyak perempuan mandiri
(((Anak lanang mbarep!))) Tanda penthung dari saya.