Setelah jemu melihat-lihat majalah lawas di ruang tunggu bengkel, kemarin siang saya ingin menyimak siaran televisi pembelaan Kuat Maruf. Karena volume kurang keras, saya pun berdiri mendekati pesawat TV. Eh, baru sebentar saya menonton, layar TV berubah. Dan berubah lagi, lagi, lagi.
Saya menengok ke arah sofa. Ada orang yang asyik dengan ponselnya. Ada yang terkantuk-kantuk. Ada yang matanya menatap layar TV. Akhirnya yang saya cari pun terlihat sedang dia pegang: remote controller.
Ini soal lumrah di ruang bertelevisi dengan remote controller diserahkan kepada proses konsensus penonton. Di apotek, remote controller tak dibiarkan berada di tangan penunggu obat. Tetapi masih terbuka negosiasi: jika kita ingin kanal tertentu bisa usul kepada kasir.
Remote controller sudah setengah abad menyertai pemilikan TV dalam masyarakat kita, mulanya hadir sebagai pelengkap paradoks: pesawat TV punya sekian saluran namun hanya ada TVRI.
Opsi yang tersedia bagi orang Jogja dan Jateng saat itu adalah memilih stasiun relay Cemoro sรจwu (Magetan, Jatim), Gombel (Semarang, Jateng), Gunung Tugel (Kutoarjo, Jateng), atau TVRI Stasiun Yogyakarta. Via Cemorosewu, khalayak bisa menonton TVRI Surabaya. Melalui Gombel, masyarakat bisa menonton TVRI Jakarta. Dari Gunung Tugel, orang bisa menonton TVRI Yogyakarta.
Namun bagi pemilik antena parabola hal itu tak berlaku. Itu sebabnya Orde Baru, melalui Menpen Harmoko, pernah ingin mengontrol parabola, agar nilai kegunaan remote controller menyusut jauh.
Lalu datanglah era stasiun televisi swasta. Secara bertahap bermunculan aneka stasiun dengan beragam konten. Dengan remote controller, pemirsa bisa membuktikan apa yang sebelumnya hanya terlihat dalam adegan tayangan film asing di televisi: sambil duduk di sofa, orang mudah mengganti saluran tontonan.
Nasib tayangan, berikut iklannya, berada di remote controller. Rating acara tergantung alat genggam sebagai perpanjangan mata. Pada media cetak, pembaca bisa menata prioritas, manakah yang akan dibaca terlebih dahulu. Pada siaran televisi hanya ada tiga opsi: tonton, tak tonton, atau matikan. Ya, mirip button pada radio mobil model kuno.
Akhirnya soal remote controller ini hal biasa, serupa alat sejenis pada AC jenis split yang menggantikan AC model window yang mensyaratkan lubang kotak pada tembok, dengan pengatur berupa dialer keras yang melekat pada unit.
Juga seiring perjalanan waktu dalam produksi massal, remote controller rusak sebagai akibat anak-anak bertengkar bukanlah masalah. Di kaki lima tersedia alat pengendali TV. Bahkan dijajakan di perkampungan dan kompleks perumahan. Setelah ada lokapasar, dari ponsel kita bisa memesan remote controller.
Alat genggam pengontrol ini hal biasa. Di sebuah kantor, para akhir abad lalu, orang berkerumun menonton siaran televisi tetapi bukan sepak bola. Kadang saluran berpindah. Padahal demi mencegah penyalahgunaan, alat itu ditaruh di depan pesawat TV, di atas filing cabinet.
Akhirnya saya yang berdiri di belakang tahu si biang keladi. Seorang anak, namanya Umay, jangan dibaca “yu-mae”, dengan tangan di bawah meja pingpong memainkan controller yang dia bawa dari rumah. Ya, dia bawa dari rumah. Ada niat.
2 Comments
Wah wah wah Umay ternyata sangat kreatif ๐. BTW kami sekarang sudah tak lagi menonton TV, Paman. Kami beralih ke OTT now ๐
TV saya sudah gak beres pikselnya, waktu masih genah saja saya gak nonton apalagi kalo layar belang ๐